Culture

Menyembah Allah, Itu Suatu Kesalahan

 “…………………… maka mengabdilah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.

(QS : Thaahaa,14)

Sudah menjadi tradisi bagi setiap umat muslim se dunia bahwa setiap melaksanakan Shalat, yang terbenak dalam fikiran adalah “penyembahan atau menyembah”. Entah darimana bahasa itu berasal, tetapi yang jelas hampir semua dari seluruh umat muslim meyakini bahwa kita harus menyembah kepada Allah.

Sadar atau tidak sadar, jika tertanam pada diri untuk meyembah Allah dalam amal ibadah maka yang terjadi adalah pengkultusan suatu “sosok” atau ”personal”. Padahal telah diketahui dan diyakini oleh umat muslim bahwa Allah adalah “Laisa Kamitslihi Syai’un” (Tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu apapun).

Kata-kata “menyembah atau penyembahan”, maka masih bisa dimisalkan dengan seseorang yang menyembah kepada sesuatu misalnya; patung, pohon, matahari, api, dan lain-lain, yang mana ada suatu “sosok” yang berada di luar atau di depan atau di atas atau dikanan atau dikiri dari diri sang penyembah.

Lalu apa bedanya dengan mereka yang menyembah patung, pohon, matahari, api dan lain-lain…? Melihat ataupun tidak melihat akan yang di sembah, tetap saja bertentangan dengan tauhid  yang sebenarnya. Karena tauhid itu, bukan penyembahan melainkan kesadaran akan ke Esaan Allah SWT.

Kesadaran akan ke Esaan Allah SWT mutlak—tidak bisa di ganggu gugat, karena Allah Muhitum Fil ‘Aaalamiin (Allah meliputi sekalian alam). Tetapi jika dimaknai dengan menyembah, maka menunjukkan bahwa Allah itu adalah suatu “sosok” yang berada di suatu tempat yang berada nun jauh disana.

Ada yang meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy yang berada di atas langit ke tujuh. Salahkah jika dikatakan demikian…? Benar dan tidak salah. Tetapi yang salah adalah penafsiran dari pada ayat tersebut. Apalagi ayat itu terdapat dalam Al-Qur’an yang berarti sudah benar adanya.

Tetapi jika salah menafsirkan, maka salah pula keyakinan yang ada. Bahasa Qur’an adalah perkataan Allah atau suara Allah.  Tentunya tidak bisa dicerna dengan akal pikiran manusia, karena akal pikiran manusia itu terbatas dan juga akal itu tercipta.

Sesuatu yang tercipta itu adalah baharu dan tidak kekal. Apakah bisa sesuatu yang baharu dan tidak kekal itu mengetahui hakikat sebenarnya dari kata-kata Firman atau suara Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an…?

Jika akal mencerna lalu menafsirkan hanya sebatas kata-kata yang menurut akal pikiran semata, maka nyata salah penafsiran yang demikian. Sebab, Allah itu Laitsa Kamitslihi Syai’un, bagaimana mungkin bisa dikatakan berada di suatu tempat, sedangkan Allah tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Ruang dan waktu menunjukkan tempat, dan hanya makhluk lah yang berada dan terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan Allah tidak bertempat, tetapi yang memiliki dan menguasai setiap tempat serta pengetahuan Allah meliputi setiap ruang dan waktu (Tempat).

Karenanya dalam pandangan tauhid dan tasawuf atau ma’rifatullah, maka siapa yang menyembah Allah maka mereka berada dalam kekufuran, karena telah menyamakan Allah dengan “sosok” yang berada di suatu tempat.

Para Arif Billah (yang mengenal akan Allah), menilik kata-kata “menyembah” itu bukanlah suatu “penyembahan” melainkan “kesadaran akan ke Esaan Allah SWT yang tidak bertempat, tetapi memiliki dan menguasai setiap tempat serta pengetahuan Allah meliputi setiap ruang dan waktu”.

Jadi, mendirikan shalat adalah untuk mengenal akan Allah Maha Besar (Allahu Akbar) yang akan menumbuhkan kesadaran bahwa benar Allah itu Esa—tiada sekutu bagi-Nya, tidak bertempat tetapi memiliki dan menguasai setiap tempat serta pengetahuan-Nya meliputi tiap-tiap sesuatu.

Karenanya renungkanlah, kenapa pada saat Takbiratul Ihram mengangkat keua tangan dan mengatakan “Allahu Akbar”. Ternyata itu adalah tanda dan bukti bahwa dalam penyerahan diri akan tumbuh kesadaran bahwa Ya…, benar…! Allah Maha Besar dan meliputi.

Wallahu A’lam Bishowab…. [Sumber: pengembarajiwa.wordpress.com]

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top