Opini

Pasca pencoretan Rusli Habibie

Oleh : Ardy Wiranata Arsyad S.H

Peta politik Gorontalo menjelang pemilihan gubernur 2017 semakin memanas akhir-akhir ini. Dengan berbagai gerilya politik yang dilakukan, para calon sangat optimis bisa meraih simpati rakyat. Ada beberapa partai politik telah membangun koalisi dan ada juga yang masih malu-malu dan menutup diri untuk membangun koalisi.
Partai politik yang telah membangun koalisi, misalnya partai Hanura dan PKS dengan mengusung pasangan Zainudin Hasan dan Adhan Dambea (Zihad), kemudian ada juga pasangan Hana Hasanah dan Syarifudin Mosii. Kesiapan koalisi ini pun terus disatukan dalam upaya meraih simpati rakyat Gorontalo.
Namun, ada juga partai yang belum membangun koalisi. Sebut saja partai Golkar, sampai hari ini pun masih belum membuka diri untuk membangun koalisi dengan partai-partai lainnya, padahal Golkar masih mengantongi suara terbanyak di provinsi Gorontalo. berkaca pada pemilihan umum sebelumnya, Golkar masih tergolong partai yang sangat dipercayai rakyat saat ini. belum lagi ada kemungkinan besar partai ini untuk membangun koalisi besar dalam pertarungan kursi Gubernur kali ini.
Dalam batas penalaran kita menganalisis bahwa Golkar hari ini masih bisa dibilang malu-malu, galau atau dilema dengan calon yang akan diusung nantinya. Melihat dinamika yang terjadi dikubu Golkar ini menandakan belum adanya kesiapan yang matang untuk pertarungan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur.
Rusli Habibie selaku Gubernur (incambent) dan juga selaku ketua DPD partai Golkar  belum bisa memastikan siapa calon yang tepat dari partai tersebut. Apakah Rusli Habibie sendiri yang akan mencalonkan atau ada calon lain yang akan menggantikannya sebagai calon Gubernur nantinya.
Sebagai kader terbaik Golkar, pastinya Rusli Habibie akan mendapat dukungan untuk maju sebagai Gubernur diperiode keduanya. Akan tetapi, sekiranya kita semua memahami bahwasannya Rusli Habibie masih sementara terlibat kasus hukum atau dalam bahasa lain, Rusli Habibie masih sementara melakukan upaya hukum (kasasi) untuk mendapat ketetapan putusan yang mengikat (inkra) dari Mahkamah Agung (MA). Sampai hari ini pun belum ada putusan/ketetapan yang jelas tentang status hukumannya.
Nantinya, Rusli Habibie akan dibenturkan dengan syarat pencalonan yang tertuang dalam PKPU No 9 tahun 2015 pasal 42 ayat (1) huruf k, yakni mencantumkan surat keterangan catatan kepolisian (skck) yang menerangkan bakal calon pernah/tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Dalam batas penalaran tertentu, kita memahami bahwa Rusli Habibie masih sementara terjebak dengan kasus hukum yang dilakukannya. Sampai saat ini pun masih sementara melakukan upaya hukum (kasasi) akibat dari tindakan hukum yang dilakukannya. Apabila sampai pada waktu tertentu Rusli habibie belum mendapat kepastian hukum, maka ini akan berakibat fatal dan bisa berimplikasi kepada pencalonan dirinya oleh Golkar.
Keadaan ini akan memaksa Rusli Habibie untuk dicoret dari bursa pencalonan, akibatnya Rusli Habibie tidak bisa mencalonkan karena tersendat dengan status hukum yang belum memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat. Melihat proses pendaftaran ditingkatan KPU akan segera berlangsung, Harusnya ada alternatif yang dipilih oleh partai pasca pencoretan Rusli Habibie nantinya.
Persoalan inilah menurut penulis akan memberikan sebuah kekecewaan kepada rakyat apabila Golkar tidak memiliki calon dalam pemilihan Gubernur dan wakil gubernur Gorontalo 2017 mendatang. Sebagai partai yang besar dan berpengalaman sejatinya harus memiliki alternatif-alternatif pilihan lain disaat terjadi deadlock pencalonan Rusli Habibie oleh Golkar.
Menjadi pertanyaan saat ini ialah, Apakah partai golkar mempunyai alternatif calon yang akan nantinya diusung untuk menjadi calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur pengganti Rusli Habibie ? sekiranya ini wajib dipikirkan oleh partai golkar. Penulis yakin masih banyak kader golkar yang nilai elektabilitas, kualitas dan integritasnya tidak jauh berbeda dari Rusli Habibie. Sebut saja Paris Jusuf selaku ketua DPRD provinsi Gorontalo, bupati pohuwato Syarif Mbuinga, Indra Yasin bupati Gorontalo utara yang juga sebagai kader Golkar, Marten Taha selaku walikota Gorontalo, Hana Hasanah yang juga memiliki kedekatan emosional dengan Golkar, Roem Kono anggota DPR RI, kesemuanya merupakan kader-kader cerdas partai golkar. Sekiranya mereka bisa menjadi figur alternatif yang disediakan oleh golkar untuk bisa melanjutkan tongkat perjuangan golkar di provinsi Gorontalo.
Ini juga menjadi batu uji kepada partai Golkar apabila akan mencalonkan kader yang bermasalah dengan hukum. Logika sederhana kita menjelaskan, apabila ini ditindaklanjuti oleh Golkar maka sama halnya Partai beringin tersebut krisis akan kader yang berkualitas dan berintegritas untuk dicalonkan.
Integritas, kualitas dan kapabilitas seorang kader yang akan diusung harus menjadi ukuran tersendiri dalam bursa pencalonan kepala daerah. Paling tidak, partai hari ini bisa memberikan kontribusi atas perbaikan demokrasi di negara ini dan khususnya provinsi Gorontalo yang kita cintai ini.
Sekiranya partai Golkar jangan mengurung diri dan membatasi orang lain untuk bisa dicalonkan dalam hajatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur nantinya, disaat ini tidak disikapi dengan bijak maka akan memberikan dampak yang sangat krusial kepada partai. Bisa jadi, partai Golkar tidak akan ikut dalam bursa pemilihan gubernur dan wakil gubernur provinsi Gorontalo dan elektabilitas partai menurun hingga berdampak kepada pemilihan umum lainnya untuk tahun berikutnya.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top