Gorontalo

71 Tahun HMI : “Ikhtiar Membaca HMI”  

Posted on

Oleh : Syamsurizal Abbas

(Kabid Pembinaan Aparatur Organisasi (PAO) HMI Cabang Gorontalo).

Tujuh puluh tahun silam, di Jogjakarta  5 Februari 1947 bertepatan 14 Rabi’ul Awal 1366, sejarah telah mencatat serta meneguhkan bahwa kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan dan keummatan yang merasuk ke dalam jiwa (Kakanda) Alm. Lafran Pane beserta empat belas koleganya yang berasal dari kelompok angkatan muda terdidik (Mahasiswa) Islam berhasil menemukan jalan serta bentuknya.

Pada momentum langka nan bersejarah tersebut mereka dengan heroiknya berhasil mentransformasi sekaligus melembagakan kesadaran nilai-nilai kebangsaan dan keummatan ke dalam tubuh institusi organisasi mahasiswa Islam intelektual-religius yang kemudian secara kolektif dinamai organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Dalam kerangka historisitas HMI, agaknya kurang Afdhol ketika berbicara dan “membaca” HMI tanpa mengaitkannya dengan seorang tokoh bernama Lafran Pane. Sebab HMI dan Lafran Pane bak dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain. Hal ini bukan karena penulis ingin meneguhkan dominasi Lafran Pane terhadap HMI serta mengingkari kontribusi ke-empat belas koleganya yang lain, melainkan karena dialah actor intellectualis dibalik berdirinya HMI.

Secara jujur Sudjoko Prasodjo menyebutkan bahwa “sesungguhnya tahun-tahun permulaan riwayat HMI hampir identik dengan kehidupan Lafran Pane. Karena dialah yang memegang andil terbanyak pada awal lahirnya HMI, untuk tidak menyebutnya sebagai pendiri utamanya”. Menurut  Cak Nur, panggilan ta’dzim kepada Nurcholis Madjid, dalam diri Lafran Pane yang kemudian ditularkan kepada HMI, terdapat suatu wisdom yang tersembunyi dan latent, yaitu kesadaran kebangsaan-keagamaan (keummatan) yang inklusifistik.

Pandangan ini jauh lebih luas dan bersifat melampaui primordialisme keagamaan yang konservatif. Karena ia tumbuh dari kalangan terpelajar, menurut Cak Nur, Lafran Pane telah terbiasa dengan pengalaman serta wawasan kebangsaan-keagamaan (keummatan) modern dengan pandangan sosial-politik-religius yang serba meliputi.

Di balik kehadiran HMI  pada 5 februari 1947, dua tahun pasca kita telah menikmati manisnya kemerdekaan, kita masih bisa melihat bahwa kondisi kebangsaan-keagamaan (keummatan)  belum dapat dikatakan stabil. Sebab masih ada letupan-letupan kecil yang selalu mengisi dinamika kebangsaan-keagamaan (keummatan) kita tempo hari.

Misalkan persoalan ketika Belanda yang secara defacto  belum memberi pengakuan kedaulatan kepada bangsa Indonesia, juga persoalan keagamaan (keummatan), di mana ummat Islam seolah tidak bangga dengan identitas keagamaannya, atau dalam bahasa Lafran Pane “Banyak orang-orang, terutama kaum terpelajar, walaupun menganut agama islam, malu mengakui dan berterus terang bahwa ia beragama Islam.

Ada pula yang mengatakan bahwa agama ini (Islam) tidak sesuai dengan zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama (Islam) ini”. Meskipun kalimat tersebut diucapkan Lafran Pane pada tahun 1947, dua tahun pasca dirinya memprakarsai pembentukan HMI, tapi itulah nada getir  yang berhasil menyergap keprihatinannya menyangkut persoalan keagamaan (keummatan) yang relevan dengan kondisi tempo hari.

Hal paling fundamental yang memicu serta memotivasi kelahiran HMI sejatinya adalah berangkat dari ekspektasi mahasiswa Islam untuk memunculkan sebuah organisasi mahasiswa Islam serta kebutuhan akan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan keagamaan aktual. Mahasiswa Islam kala itu memandang bahwa tidak ada wadah organisasi Islam ideal yang mampu merepresentasi serta menampung dan menyalurkan aspirasi terkait dengan kepentingan agenda-agenda sosial-intelektual-kegamaan mereka.

Harapan ini sesungguhnya telah muncul pada akhir November 1946. Di samping itu, kelahiran HMI sesungguhnya sebagai manifestasi konkrit serta ikhtiar dalam merespons kondisi politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan serta agama bangsa indonesia yang secara faktual masih di bawah cengkeraman penjajah.

Berdirinya HMI diharapkan mampu membawa perubahan yang radikal, yakni terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda, demi terciptanya bangsa yang lebih baik di masa depan. Fenomena itu kemudian terekam dalam tujuan didirikannya HMI, seperti tercantum dalam pasal 4 Anggaran Dasar (AD) HMI.

Dalam keadaan seperti itu, di tengah-tengah zaman di mana energi serta psikologi ummat Islam dan Bangsa terkuras guna menyelesaikan persoalan yang ada, dapat dikatakan Lafran Pane beserta ke-empat belas koleganya yang mendirikan HMI sebenarnya hanya merupakan salah satu bagian terkecil dari keseluruhan dinamika bangsa dan ummat yang luas dan besar itu. Sehingga mudah dipahami jika gagasan Lafran Pane dan kawan-kawan dalam mendirikan HMI saat itu bukanlah sesuatu yang mengesankan. Yang terjadi justru sebaliknya.

Menurut Agussalim Sitompul, Beberapa organisasi mahasiswa yang telah ada lebih dulu sebelum kehadiran HMI semisal Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Serikat Mahasiswa indonesia (SMI), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) serta beberapa organisasi mahasiswa lainnya memandang sangat sinis sembari memasang wajah yang tidak bersahabat terkait dengan kehadiran HMI.

Mereka menuduh bahwa kehadiran HMI hanya akan memecah belah persatuan mahasiswa dan pemuda. Meski pada kenyataanya, ketidaksukaan mereka terhadap HMI lebih berdasar pada signifikansi perbedaan ideologis yang tajam  antara HMI dan beberapa organisasi tersebut. Reaksi-reaksi tersebut berlangsung selama Sembilan bulan, dan baru berakhir pada November 1948.

Ketika banyak organisasi, termasuk organisasi kemahasiswaan berafiliasi secara taktis dengan kepentingan politik serta menyediakan dirinya sebagai organisasi payung dari sesuatu organisasi politik, HMI dengan sekuat tenaga tetap mempertahankan marwah dirinya sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang Independen. HMI enggan untuk “bersenggama” dengan kepentingan-kepentingan politik manapun.

Meski secara ideologis tidak bisa kita pungkiri bahwa HMI mempunyai kedekatan ideologis tersendiri dengan Partai Politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) kala itu. Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis  dan merupakan karakter dan kepribadian kader HMI. Implementasinya terwujud dalam bentuk pola pikir dan pola laku setiap setiap kader HMI, baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan hakikat dan misi organisasi HMI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Watak independen yang tercermin dalam pola pikir, pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk “Independensi etis HMI”, sementara watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI akan membentuk “Independendensi organisatoris HMI” yang secara mutlak menegaskan bahwa HMI bukanlah underbouw partai politik maupun kekuatan kelompok politik manapun.

Hal inilah yang membuat kuku eksistensi HMI  sebagai organisasi kader mampu tercengkeram erat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. HMI tidak mampu “disandera” kepentingan politik kelompok manapun. Kecuali oleh kelompok kaum marginal yang tertindas di bawah kekuasaan rezim tirani. Karena memperjuangkan kepentingan kaum tertindas adalah bagian dari misi dan tanggung jawab HMI secara etis, yakni gandrung akan nilai-nilai kebenaran yang diartikulasikan melalui kumandang serta pekik  lagu perlawanan kepada setiap rezim yang menindas.

Usia tujuh puluh tahun bagi sebuah organisasi yang masih eksis adalah sebuah usia yang mengindikatori tentang kemapanan serta kedewasaan  bagi organisasi tersebut. Kita pantas untuk tidak ragu bahwa HMI mampu menjadi lokomotif bagi kemajuan bangsa ini.

Persepsi kita secara kolektif tentulah mengamini bahwa HMI secara organisatoris mampu berdialektika dengan segala dinamika kebangsaan dan keummatan sekaligus mengurai segala kontradiksi-kontradiksi yang memantik keresahan sosial di dalamnya.

Tapi sejenak ketika melihat serta dengan sungguh-sungguh memaknai tentang kondisi HMI dalam kaitan dengan keadaan bangsa dan ummat hari ini, justru kita akan menyadari bahwa anggapan kita tersebut sesungguhnya hanyalah sebuah ilusi di depan mata. Bagaimana tidak? HMI yang telah memasuki usia tujuh puluh satu tahun, ternyata tidak ubahnya hanya menjadi duri dalam daging bagi ummat dan bangsanya sendiri. Bahwa krisis serta persoalan bangsa kita hari sesungguhnya tidak lepas dari kontribusi HMI di dalamnya.

Banyak figur yang telah diorbitkan HMI untuk menjejal berbagai medan pengabdian untuk Ummat dan Bangsa nyatanya telah abai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Maka tidaklah mengherankan bahwa akhir-akhir ini HMI seringkali banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan. Sebut saja kritikan dari salah seorang komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tempo hari yang berani menyebut bahwa HMI ketika menjadi pejabat akan korup dan jahat.

Keadaan HMI hari ini seolah telah berada pada titik nadir. Penulis menduga ini adalah conditio sine qua non dari kegandrungan HMI untuk berpolitik (kontestasi) diinternal kepengurusan, yang pada gilirannya menghadirkan friksi serta letupan konflik sehingga memantik hadirnya faksi-faksi di setiap kepengurusan mulai dari hirarkis terbawah hingga paling atas.

Terjadinya kontrak-kontrak politik kepemimpinan transaksional dalam pemenangan ketua umum baik pada level konfrcab, musda, hingga kongres disinyalir sebagai penyebab utama memudarnya konsep “the right man on the right place” dalam sebuah organisasi yang menginginkan output yang berkualitas. Banyak agenda-agenda organisasi dalam rangka memperjuangkan cita-cita ideologis terbengkalai begitu saja. Energi dan stamina HMI telah terkuras habis akibat persoalan-persoalan tersebut.  Di sadari atau tidak, persoalan-persoalan ini cepat atau lambat dapat mematikan HMI.

Memudarnya semangat dan gerakan intelektualisme di HMI merupakan salah satu bagian dari persoalan yang telah mendarah daging. Kegiatan-kegiatan keilmuan HMI yang sebelumnya menjadi andalan, kini redup dan memudar. Budaya kajian dan diskusi keilmuan tampak mandul di tengah-tengah aktivitas HMI secara kelembagaan. Agenda-agenda HMI yang diramu dalam bentuk kegiatan tak jarang hanyalah sebuah kegiatan ceremonial belaka.

Kelemahan lain HMI yang mengklaim diri sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia adalah  kurangnya disiplin organisasi. Di antaranya adalah proses perkaderan yang seharusnya berjalan dengan disiplin tinggi, justru dilanda ketidakdisiplinan dalam mekanisme pelaksanaannya.

Akibatnya, perkaderan sebagai pendidikan formal HMI menjadi kurang prestisius dan berwibawa di mata peserta. Yang ada justru memantik penilaian bahwa perkaderan hanyalah sebatas formalitas organisasi. Nilai- Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dirumuskan oleh Cak Nur dan dipandang sebagai “ideologi” serta dijadikan sebagai tafsir azas HMI justru gagal untuk diterjemahkan dan dimaknai secara esensial para kader HMI. Sehingga mudah ditebak bahwa setiap aktivitas HMI seolah kehilangan jalan dan arah. Ini tentu secara praktis dapat berimplikasi pada pola pikir kader HMI dalam konteks memperjuangkan misi dan cita-cita organisasi.

HMI di usianya yang menginjak tujuh puluh satu tahun hari ini, kita dapat personifikasikan sebagai seorang manusia tua yang didiagnosa telah mengalami gejala pikun, katarak, dan mengidap penyakit AIDS. Bahwa HMI di usia tuanya tidak lagi dapat berbuat apa-apa untuk memperjuangkan kepentingan ummat serta bangsanya. HMI telah mengalami masa “ pikun” terhadap cita-cita ideologisnya yang berkomitmen untuk selalu fokus dan berkonsentrasi terhadap prinsip-prinsip kemajuan ummat dan bangsanya.

HMI telah “katarak”  untuk melihat jutaan jeritan, teriakan, serta tangisan rakyat yang tertindas di sekitar ruang sosialnya, akibat produk kebijakan pemerintah yang telah mengusir jauh mereka (rakyat) dari kebahagiaan serta kesejahteraan. HMI sejatinya telah terpapar dan mengidap penyakit “AIDS”, karena HMI hari ini telah berulangkali menggerayangi moleknya kepentingan-kepentingan politik kelompok tertentu, serta bergonta-ganti partner “senggama” pragmatisnya, sehingga “dikutuk” para founding fathernya untuk mengidap penyakit laknat tersebut.

Penulis membayangkan andai Lafran Pane (pendiri HMI) menyaksikan langsung apa yang terjadi dalam ruang ke-HMI-an hari ini, pastilah dia akan menguras habis seluruh perbendaharaan makian yang masih mungkin dirumuskan dengan kata-kata untuk kemudian dialamatkan kepada seluruh kader  HMI seantero negeri, yang seolah abai dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai kader ummat dan bangsa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pembacaan dan  Kritik tentang kondisi HMI di atas adalah penilaian yang hidup dalam subjektifitas penulis terkait dengan kondisi HMI. Tapi tentu gambaran tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Sebab gejala tersebut merupakan hasil analisis sekaligus refleksi terkait gerakan HMI dalam ruang keummatan dan kebangsaan kita hari ini. kritik tersebut haruslah menjadi “tamparan” bagi kita secara kolektif demi memantik koreksi internal dalam rangka melakukan muhasabah sekaligus evaluasi secara totalitas dalam tubuh organisasi HMI.

Masih ada hari esok untuk menata dan membenahi organisasi ini demi mengenyahkan segala persoalan-persoalan yang membekap, serta meneguhkannya kembali sebagai kader ummat-kader bangsa yang independen serta selalu berorientasi pada prinsip-prinsip kemajuan. Terakhir, meminjam bahasa (Kanda) Lukman Hakiem: “ Jika banyak para kader HMI acapkali mengumandangkan salah satu kalimat dari Hymne HMI: ‘yakin, usaha, sampai’ disingkat Yakusa , maka seperti tertulis juga dalam hymne HMI, bahwa syarat untuk  Yakusa mestilah turut qur’an dan hadits (sebagai) jalan keselamatan”. Dan atas dasar ini kita boleh optimis terhadap masa depan HMI sebagai modal besar bagi ummat dan bangsa kelak. Wallahu a’lam…

 

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Cancel reply

Most Popular

Exit mobile version