Opini

Rusli Habibie dan Sikap Mengenyampingkan Status Hukumnya

Posted on

Oleh : Ardy Wiranata Arsyad S.H

(Mahasiswa Pascasarjana UII Jogyakarta)

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Gorontalo sempat dihebohkan dengan persoalan putusan kasasi Rusli Habibie (Gubernur Gorontalo), yang menyatakan tindakan yang dilakukannya ialah suatu perbuatan melawan hukum dan mendapat putusan (pidana bersyarat) yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat (inkrah). Persoalan itu pun memunculkan ragam penafsiran yang sebetulnya jauh dari konstruk logika hukum.

Namun, dalam hal ini, penulis mencoba untuk membahas implikasi status hukum Rusli Habibie. Karena sejatinya, dalam pandangan hukum Rusli Habibie telah sah dan terbukti melakukan tindakan melawan hukum dan berhak menyandang status “terpidana”. Tulisan Susanto Polamolo di situs degorontalo, telah mengupas habis ihwal status terpidana Rusli Habibie dengan terang sekali.

Persoalan yang muncul kemudian ialah, masyarakat seakan diperhadapkan dengan ketidakpastian penegakan hukum kepada terpidana Rusli Habibie.

Realitas ini sungguh kronis, sejumlah fakta sosial dan analisis politik menabrak banyak hal. Sekiranya ada tiga hal yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini, sebagai bukti konkrit bahwa persoalan hukum tidak lagi menjadi penting dan terkesan dikesampingkan, bahkan dipolitisir.

Pertama, konsekuensi dari pada negara hukum itu ialah kesamaan setiap orang di mata hukum, tidak ada yang kebal dengan hukum (equality before the law). Substansi dari penegakan hukum itu bermuara pada kesamaan dalam akibat hukum. Hukum menjadi sebuah pijakan dasar dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tidak menyampingkan persoalan yang dilakukan oleh terpidana Rusli Habibie dan nyatanya bersalah oleh keputusan hakim Mahkamah Agung (MA).  Persoalan yang muncul ialah, apakah Rusli Habibie sadar dengan persoalan yang menimpanya? Sebagai pemimpin mestinya Rusli Habibie sadar dan arif menyatakan secara terbuka bahwa ia telah melakukan kesalahan dan wajib hukumnya untuk mengakui kesalahan tersebut.

Sebagai wujud kesadaran tersebut, bisa saja Rusli habibie Mohon Maaf kepada semua masyarakat gorontalo atas tindakannya, atau yang paling ekstrem mengundurkan diri dari jabatan (gubernur) yang diembannya saat ini.

Namun, itu bukanlah perkara mudah yang akan dilakukan oleh Rusli Habibie, hanya saja persoalan itu akan bisa menjadi batu uji apakah Ia benar-benar menjalankan prinsip kesamaan hukum dan apakah Ia paham dengan tindakan yang ia lakukan sebagai pejabat daerah.

Itu kira-kira menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua, hal ini pun akan membuktikan bahwa setiap orang sama di hadapan hukum dan wajib menjalankan putusan hukum yang telah berkekuatan hukum mengikat.

Kedua, jangan sampai di masyarakat terus hidup pandangan mainstream berpikir bahwa pejabat itu kebal dengan hukum. Hal tersebut bisa saja terjadi apabila keadaan ini semakin diabaikan oleh Rusli Habibie, sebagai pejabat seharusnya menunjukan prinsip kebersamaan dalam hukum, tidak ada pengecualian antara rakyat kecil dan elit politik/pejabat publik.

Sekiranya pemahaman rakyat tentang hukum itu bisa dirubah dengan memperlihatkan keseriusan dalam menegakkan hukum. Jangan sampai, hal ini akan membuat rakyat semakin tidak peduli dengan penegakkan hukum, hukum hanya seakan berlaku bagi masyarakat kecil dan melindungi mereka yang ber “duit”.

Rusli Habibie seharusnya peka terhadap hasil putusan yang mengikat dirinya sebagai terpidana, walaupun hukumannya penjaranya tidak perlu dijalani (pidana bersyarat) ia terikat status terpidana hingga bebas murni.

Putusan tersebut harus dijadikan batu uji apakah Ia sadar demi hukum, mengabaikannya, atau justru malah mengenyampingkan statusnya sebagai terpidana. Jika demikian, maka, itu dapat dianggap sebagai sikap melawan hukum. Kira-kira demikian yang terpenting harus dipahami.

Ketiga, hukum jangan dipolitisir. Memang ada kecenderungan hukum itu selalu dipolitisir oleh mereka yang pandai dan lihay dalam berpolitik. Ini juga sekiranya menjadi keseriusan kita dalam berdemokrasi, persoalan hukum sering diabaikan karena kepentingan politik. Sebagai petahana Rusli Habibie jelas akan terbentur dengan peraturan KPU, di mana terpidqna seperti Rusli Habibie tidak dapat mendaftarkan diri dalam bursa pencalonan di pemilihan Gubernur 2017 mendatang. Menyandang status Terpidana dengan sendirinya memupus harapan Rusli Habibie untuk menjabat diperiode kedua sebagai Gubernur.

Dalam hal ini, semua itu bisa saja diabaikan karena kepentingan politik dan kekuasaan, Rusli Habibie bisa saja melanggeng dengan bahagia dan lolos dari persoalan hukum yang diembannya saat ini. Jika itu terjadi, maka letak kebobrokan demokrasi dan berhukum kita ditingkatan lokal Gorontalo semakin meningkat dan jauh dari harapan perbaikan. Masyarakat akan semakin pesimis dengan penegakan hukum di provinsi ini, akibatnya, masyarakat juga yang akan merasakan akibat dari perseteruan nakal yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut.

Jika Rusli Habibie serius membangun daerah ini, buktikan bahwa dirinya paham hukum dan tidak mengabaikan statusnya sebagai terpidana. Sikap mengabaikan status hukum yang dilakukannya hanya akan berimplikasi buruk atas dinamika penegakan hukum daerah ini.

Penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan Susanto Polamolo dalam tulisannya: Pilgub kali ini sudah semestinya menjadi momentum regenerasi kepemimpinan. Momentum menyudahi “cara-cara lama”, dan membangun “jalan baru”.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Cancel reply

Most Popular

Exit mobile version