Opini
Sesuatu yang Kita Sebut “Agama”
Oleh : Tarmizi Abbas
Mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo
“Apakah ciri dan struktur umum dari alam semesta yang kita tinggali ini ? adalah unsur yang permanen dalam susunan alam semesta ini ? Bagaimanakah kita berhubungan dengannya ? Tempat apakah yang kita huni ini, dan sikap macam apakah yang sesuai di tempat yang kita huni ini ?” – Allamah Iqbal in Reconstruction of Religious Thought in Islam
Pertanyaan-pertanyaan tersebut lazim kita temui dalam agama, filsafat dan puisi. Dalam tatanan masyarakat tradisional, filsafat dan puisi adalah semacam wadah yang menyimpan pengalaman sosial bersama – common wisdom. Keduanya semacam arsip bagi pengetahuan masyarakat, kegelisahan terhadap fenomena sosial dan bukti perkembangan sebuah peradaban, bukan ditujukan pertama-tama sebagai alat ungkap pengalaman pribadi yang sifatnya unik dan intim. Tetapi, agama lebih dari itu. Oleh Iqbal, ia lebih lazim bersenandung di wilayah “perbuatan” dari pada “pemikiran”.
Jika kita mengeruk definisi agama sendiri, oleh Cliffort Geertz merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Sepihak, hal ini menunjukkan bahwa ada keterikatan yang jelas antara agama dan sistem sosial, yakni sebagai jalan yang akan menghubungkan manusia menuju kehidupan ber-keadaban melalui aturan-aturan yang harus dipatuhi secara masif. Namun, pertanyaannya sekarang adalah : mampukah sesuatu yang kita sebut sebagai “agama” tersebut survive dalam situasi dan kondisi sosial yang selalu berubah ?
Dalam struktur sosial, perubahan adalah hal yang pasti. Tak ada sesuatu apapun yang kekal dalam ranah sosial selama proses perkembangan pemikiran manusia juga ikut berkembang. Termasuk menyeruaknya sektarianisme dalam agama, yang dianggap merupakan buah dari perkembangan pemikiran religius yang “menukik” hebat. Namun, jika ditilik lebih dalam, agama sebenarnya tidak memberikan batasan apapun terhadap manusia yang ingin mengekspresikan gagasan dan gerakannya, selama hal itu masih sejalan dan tidak keluar dari prinsipnya yang profetik, atau dalam Islam, hal ini disebut “wahyu”, yakni : sebuah petunjuk dari Allah SWT yang hanya diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang memuat pesan-pesan ketauhidan.
Secara eksplisit, melihat bagaimana umat beragama semakin kritis mempertanyakan kredibilitas agama yang dianutnya, sebenarnya merupakan pemandangan baru atas lahirnya sosok-sosok generasi agamis yang progresif ketimbang mereka yang bertahan pada wilayah doktrinal semata. Namun, tak ada yang bisa menampik bahwa proses dari perkembangan dunia sosial hingga tradisi pemikiran, disisi lain juga melahirkan pertentangan yang kadang berhujung pada sikap-sikap destruktif. Acap kali kita melihat berbagai pelanggaran nilai dan norma sosial–kemanusiaan disebabkan oleh gesekan ideologis. Alhasil, agama dewasa ini kadang dipandang sebagai medium lahirnya sikap egosentris di tiap-tiap individu dan kelompok.
Prof. Whitehead menyatakan dengan tegas bahwa “zaman rasionalisme adalah zaman keimanan“. Tetapi, bukan berarti merasionalkan keimanan lantas kita juga mengkonklusikan bahwa corak berfikir rasional juga lebih unggul dari pada agama bukan ? Jangan pernah lupa, bahwa : semangat filsafat juga menganut nilai kebebasan. Ia kadang menggugat otoritas agama. Hal seperti ini jelas diperlihatkan para Newtonian-Cartesian di zamannya ketika mereka dan para penganutnya menentang ajaran gereja.
Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa iman itu bukan sekedar perasaan. Ia mempunyai sesuatu semacam kandungan kognitif dalam historiografi agama-agama, bahwa : gagasan juga merupakan unsur vital yang tidak dapat dipisahkan dari agama. Oleh sebab itu, Iqbal menegaskan bahwa agama hampir-hampir tidak pernah mengabaikan upaya untuk mencari rekonsiliasi berbagai pertentangan dari suatu pembenaran dan pertentangan terhadap lingkungan sosial dan tempat manusia menemukan dirinya. Bahkan al-Quran dengan tegas menyatakan dalam Qs. Al-Hujurat ayat 12 : orang-orang beriman yang mencari dan mengolok-olok kesalahan orang lain layaknya manusia yang memakan daging saudaranya sendiri. Begitu pula dengan Konsil Ekumenis Vatikan Kedua atau Vatikan II (1962-1965), yang menghasilkan kesepakatan dari para Uskup Roma bahwa setiap orang hendak menganut kepercayaannya masing-masing tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Dari sinilah terlihat bahwa sebenarnya, agama tak ingin melepaskan sisi apapun dari pemikiran dan keimanan, asalkan masih sejalan deng prinsip yang dipegang teguh oleh agama itu sendiri. Dengan lahirnya asumsi ini, sejatinya tidak serta merta mengkonklusikan bahwa agama itu setara apalagi berada dibawah wilayah nalar, rasio, dan realitas sosial, justru ia berada di atas segalanya karena telah memberikan standarisasi yang tepat dalam melihat perkembangan dunia sosial yang rentan perubahan. Persoalan kebenaran adalah milik Tuhan, kita tak berhak mencampuri, apalagi mengambil haknya sebagai penentu kebijakan. Beragama tak perlu ribut, apalagi saling menyalahkan, karena Tuhan tahu siapa yang benar-benar berada di jalannya. []
You must be logged in to post a comment Login