Pilkada serentak putaran kedua kurang lebih tinggal setahun, sebelumnya pada tanggal 9 Desember 2015 di Gorontalo telah selesai dilaksanakan Pilkada serentak putaran pertama di tiga Kabupaten yakni Pohuwato, Bone Bolango, dan Kabupaten Gorontalo. Dari tiga Kabupaten tersebut, dua daerah berhasil dimenangkan oleh pasangan Incumbent masing-masing pasangan SYAH (Syarif Mbuinga-Amin Haras) di Kabupaten Pohuwato dan pasangan HAK (Hamim Pou-Kilat Wartabone) untuk Kabupaten Bone Bolango. Tahun depan yang paling menarik dan menyita perhatian sebagai kalangan adalah pemilihan Gubernur Gorontalo. Beberapa figur dengan percaya diri menyatakan keikutsertaannya, adapula yang masih “malu-malu” untuk maju. Dari nama-nama yang beredar sebut saja Rusli Habibie, Gusnar Ismail, Adhan Dambea, Toni Uloli, Zainudin Hasan, Idris Rahim, dan lain sebagainya.
Dalam literatur ilmu politik sebagaimana pernah diungkap dalam tulisan Mada Sukmajati pada Koran Kedaulatan Rakyat, menurut Stokes et.al (2012), “gentong babi” adalah salah satu bentuk dari politik distributif, dimana politisi (baik di lembaga legislatif) berusaha untuk mengalokasikan sumber daya material dari Negara kepada para pendukungnya dalam kerangka mobilisasi dukungan elektoral. Para politisi berusaha mewujudkan program yang konkret kepada konstituennya dalam rangka terpilih kembali di pemilu berikutnya. Pada sisi lain, konstituen berusaha mendapatkan program material dari Negara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Politik “gentong babi” sebenarnya wujud konkret dari adagium yang pernah dipopulerkan oleh Harold D. Lasswell. Menurutnya, Politik itu soal who gets what, when and how. Cerita mengenai cara berpolitik di Amerika Serikat mengawali munculnya istilah “gentong babi”. Secara sederhana, seseorang diberi mandat oleh kelompoknya untuk memperebutkan gentong yang berisi daging babi yang telah disediakan oleh Negara. Mereka dianggap berhasil jika dapat membawa pulang daging babi sebanyak-banyaknya ke masyarakat tersebut. Dengan demikian politik menjadi sangat konkret, pragmatis, dan kalkulatif.
Dari teori diatas mengenai arti politik “gentong babi”, hal ini sangat dimungkinkan berkembang menjelang Pilgub dan berpeluang dipraktekkan oleh calon-calon yang memiliki akses terhadap sumber daya material Negara. Dengan akses tersebut para calon menggunakan sumber daya material untuk mendistribusikan program dengan motif elektoral saat pemilu dan politik “gentong babi” biasanya dimanipulatif melalui program kerja yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Disini terjadilah simbiosis mutualisme antara calon yang menggunakan politik “gentong babi” dengan masyarakat, implikasinya jelas, masyarakat jadi pragmatis. Tentunya, politik “gentong babi” akan menjadi perdebatan dari masyarakat mengenai legal dan tidaknya politik “gentong babi” yang dipraktekkan oleh calon yang memiliki akses terhadap sumber daya material Negara. Hal ini sama seperti perdebatan dari beberapa ilmuwan mengenai legalitas politik “gentong babi” (lihat, misalnya Schaffer, 2007) mengatakan bahwa politik “gentong babi” adalah legal, tidak ada unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, lain halnya dengan Stoke (2012) yang berpendapat bahwa strategi politik “gentong babi” masuk dalam kategori politik non-programatik (tidak bersifat publik dan sarat kepentingan) dan bias partisan (untuk mobilisasi dukungan elektoral).
Sebelumnya, praktek politik “gentong babi” sudah pernah terjadi di beberapa Negara seperti Amerika, Inggris, dan Indonesia. Khusus di Indonesia, contoh praktek politik “gentong babi” adalah melalui alokasi dana aspirasi yang beberapa waktu lalu menghebohkan tanah air dimana para anggota DPR rencananya mendapatkan dana 20 Milyar yang dialokasikan ke daerah-daerah pemilihan masing-masing. Ketika wacana dana aspirasi mencuat di media atas usulan partai golkar dan partai lain, muncul pertanyaan-pertanyaan dari kalangan masyarakat mengenai manfaat dan mudaratnya, ketidakberesan masyarakat terfokus pada runtuhnya dinding pemisah fungsi legislatif dan eksekutif, dimana ada invasi antara pertama dan kedua. Dalam konteks Pilgub tentu sangat mudah untuk mengidentifikasi politik “gentong babi” apalagi menjelang pemilihan. Petahana sangat berpeluang mempraktekkan politik “gentong babi” melalui program-program kerjanya. Pengawasan dari masyarakat sangat penting dengan melihat sinkronisasi antara program kerja pemerintah, partai politik dan program individual.
(Direktur LSM LIPSTIK (Lingkar Studi Ilmu Sosial dan Politik)).
