Opini

Idris Rahim : “Tumbal” Otoritarianisme ?

Idris Rahim : “Tumbal” Otoritarianisme ?

(Turbulensi Partai Politik Indonesia)

Pasca pendaftaran pasangan calon kepala daerah menarik untuk disimak apabila kita menyisir dinamika elektoral yang terjadi belakangan ini. Mulai dari Aceh hingga Papua terdapat beberapa partai politik mengalami antiklimaks dalam mengusung pasangan calon kepala daerah. Runtuhnya ideologi dan marwah partai politik menghantam ke semua lini mengancam disintegrasi kader dan menurunya elektabilitas partai politik. Fenomena kekacauan partai politik mengundang publik terkonsentrasi terhadap sikap Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) dalam memberikan rekomendasi calon gubernur dan wakil gubernur menjelang pilkada gorontalo 2017.

Resistensi kelompok masyarakat dan sebagian pengurus Dewan Pengurus Daerah (DPD) PAN di Menara Limboto menjadi gejolak politik di daerah semakin memanas. Setelah rekomendasi DPP PAN yang mengusung paket Zainudin Hasan-Adhan Dambea (ZIHAD), memicu reaksi keras dari beberapa pengurus internal partai. Bahkan, DPP mengambil sikap secara (simsalabim abracadabra) mengganti posisi Idris Rahim sebagai ketua DPD I PAN dan merombak beberapa pengurus DPD II yang tidak patuh dengan rekomendasi partai.

Saat ini, kekuatan PAN menjelang pilkada gorontalo 2017 terbelah dan berpotensi dukungan internal partai menyasar ke beberapa calon. Kenyataan ini membuktikan bahwa sistem kepartaian yang terkonsolidir pun, belum tentu berpolarisasi pula secara integral. Retaknya kekuatan jelas mencerminkan hubungan kepengurusan partai politik pusat dan daerah selalu kontras khususnya kebijakan rekomendasi calon kepala daerah.

Turbulensi Partai Politik

Problematika rekomendasi calon kepala daerah oleh partai politik hari ini adalah komando partai yang masih bersifat sentralistik, tidak ubahnya seperti sistem militer dan rezim orde baru. Akibatnya, tontonan pemandulan secara masal dan menihilkan otonomi partai yang berujung pada unit partai daerah harus membebek serta menghamba pada otoritarianisme DPP. Padahal pengurus partai di daerah adalah pion dalam memenangkan pencaturan elektoral. Pada titik ini, kepengurusan partai di pusat (DPP) mengubah ornament partai menjadi rezim otoriter untuk mewajibkan kebijakan partai agar dapat dilaksanakan meskipun menyimpang dari kehendak pengurus partai di daerah. DPP persis menjelma sebagai decision maker terhadap kebijakan unit partai didaerah, tanpa mengetahui dinamika akar rumput yang terjadi. Inilah yang menjadi pertanyaan besar, sejauh mana pengetahuan DPP dalam menyelami ruang gerak dinamika akar rumput ? Tidak mengherankan, produk dari decision making cenderung memilih figuritas dan bukan kolektivisme. Idealnya, harus ada pengeceualian terhadap indikator komando kebijakan partai khususnya penentuan rekomendasi calon kepala daerah.

Lebih spesifik penulis menguraikan beberapa hal. Pertama, demokrasi lokal cenderung ditentukan oleh pengurus pusat, bukan dengan intensitas partai dalam menghimpun suara kader dan aspirasi masyarakat selaku pemilih fanatik partai yang bersangkutan. Dominasi sosok, modal dan faktor kedekatan sangat mutlak mempengaruhi kebijakan pengurus pusat hingga saat ini. Orang yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai pusat sangat relatif direstui. Sebab, dalam semua Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (ADART) partai politik, Ketua Umum DPP memiliki bargaining possisioning yang sangat kuat dalam menentukan calon yang diusung oleh partainya. Walaupun kader partai tingkat DPD yang telah bersusah payah untuk mufakat secara internal, tidak menjamin tiket pencalonan kepala daerah dimiliki oleh figur yang telah disepakati ditingkat DPD. Persis disitu apa yang dirasakan Dany Pomanto pada pilkada 2011 dan Idris Rahim pada pilkada 2017.

Kedua, Kegagalan partai Indonesia untuk move on dari dominasi sosok, modal, dan faktor kedekatan disebabkan gagal paham memahami fungsi partai dalam corak bernegara. Sistem presidensial sebagai jalan politik bersama ternyata colaps melalui ketidakmampuan berdemokrasi dalam internal partai dengan baik. Partai masih berkutat pada paradigma bahwa hak veto ketua umum DPP bersifat samina wa’ atho’na, mau tidak mau seluruh kader harus mau menjalankan rekomendasi DPP. Jika tidak, maka pemecatan kader secara berjamaah tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, UU Parpol dan AD/ART partai politik menjadi biang masalah yang tak terelakkan. Spirit regulasi mengebiri kejantanan partai politik untuk mendewasakan sistem yang carut-marut.  Ketiga, Partai politik belum memiliki pola pencalonan pemimpin pemerintahan yang melembaga. Parpol cenderung mempraktikan pola pencalonan yang otoriter yaitu mekanisme penentuan rekomendasi pencalonan kepala daerah dilakukan secara top-down bukan bottom-up.

Beberapa passion politik demikian menjadi turbulensi demokrasi dewasa ini. Partai hari ini cenderung mengalami distorsi ideologis, mengarah pada kecenderungan pragmatisme bahwa parpol hanya berbicara tentang kekuasaan ketimbang transformasional. Padahal partai politik di Indonesia tidak difungsikan sebagai “mesin politik” untuk merebut kekuasaan sebagaimana tujuan pembentukan partai modern oleh tiga serangkai pendiri partai pertama di Indonesia, KI Hadjar Dewantara, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkoesoemo pada 25 Desember 1912.

Pengalaman dalam hal pencalonan kepala daerah semestinya menjadi momentum bagi partai untuk melembagakan seleksi kepemimpinan yang lebih baik. Dalam kaitan tersebut, seleksi calon kepala daerah melalui konvensi atau pemilihan pendahuluan oleh kader partai secara demokratis menjadi penting, ketimbang sekedar penetapan mutlak berdasarkan keputusan DPP. Bobroknya aturan main tidak lepas dari semangat regulasi yang ada, bak ada asap karena ada api. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik belum dapat mewadahi kebutuhan bangsa untuk membangun sistem partai yang memback-up sistem presidensil, atau memang terjadi bahwa dalam prakteknya, bukan masalah undang-undangnya tapi partai politik sekarang ini telah terjadi personalisasi partai politik.

Jalan Keluar

Penulis merekomendasikan solusi yang bersifat opsional, Pertama adalah desain ulang UU Parpol atau AD/ART partai politik sebagai social engineering untuk mengatur mekanisme penyatuan sistem pemilihan yang terlembagakan, agar dapat mencegah kerentanan konflik internal partai dan bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan kepengurusan pusat dan daerah. Kedua adalah mendorong kesadaran elit partai untuk berbenah diri dalam mendorong penguatan demokratisasi internal partai yaitu membuka kran aspirasi kepada para kader partai untuk memilih siapa yang paling pantas untuk dicalonkan sebagai calon kepala daerah. Desain ini menarik apabila mekanisme penentuan bakal calon kepala daerah dilakukan berbasis dukungan seluruh kader unit daerah dan posisi DPP persis hanya mengesahkan usulan pengurus partai tingkat daerah. Ketiga, mendorong elemen civil society agar dapat memberikan tekanan dan desakan kolektif sebagai nafas kelangsungan demokrasi sehingga format regulasi bisa berubah.

Penulis :         

Rahmat T.S Gobel

Alumni Fakultas Hukum UNG / Mahasiswa S2 FH Universitas Islam Indonesia

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top