Oleh: Firman A. Latif.*
*Alumni Sosiologi UNG
Politik Gorontalo kian memberi tahu dimana arah kedangkalannya, hal ini tak lain menukik dalam subjek-subjek yang mengagap bahwa ia-lah satu-satunya kebenaran dan yang lainnya adalah mitos dari kebenaran. Bukankah persoalan semacam itu memberi ruang terciptanya kesenjangan? serta menutup kemungkinan kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif? Bukankah demokrasi adalah jawaban dari kesenjangan dan kekuasaan yang otoritarian? Mungkin simtom semacam ini dapat kita sebut pembentukan fanatisme-fanatisme negatif dari berbagai bidang.
Dititik ini-lah politik Gorontalo berkutat selama 15 tahun terakhir, dan itu artinya bahwa persoalan politik Gorontalo mengaskan tak adanya comon sense dari peristiwa-peristiwa historis dan patahan-patahan ruang sosial. Kita-pun hanya mampu melihat dan mengikuti pola-pola pengelompokan, serta tak mampu beyond dari gaya politik semacam itu, atau-pun membuka ruang pembaruan atas diskursus partikular yang emansipatif. Sudah barang tentu persoalan yang kita hadapi ada pada diri kita masing-masing, yang belum siap menerima tatanan bahwa kita adalah mahluk sosial, terhimpun dari banyak warna, banya peta prespktif, banyak kepentingan, perbedaan-perbedaan kultur.
Kalau-pun diperhadapkan pada gerakan politik alternatif, diskursus ini tentu memiliki jawaban pada politisi-politisi muda, namun tampaknya juga tak progresif dalam menghadapi realitas politik elit, yang kian melepaskan diri dari politik kewarganegaraan. Terkadang politisi muda terlalu cepat untuk mengambil keputusan perkoncowan dengan elit lain, sementara disaat yang sama mengabaikan politik kewarganegaraan dan mengambil jalan kepentingan pribadinya terpenuhi. Di posisi ini politisi muda justru tak mampu menghadirkan kontrol efektif pada pemerintahan. Kita hanya ditawari ilusi-ilusi kebenaran demi membangun rezim populis narsistiknya, kita sengaja ditengelamkan dalam ilusi-ilusi untuk menciptakan keterbelahan, semetara ia menenangkan diri dan menikmati perkoncoan dengan elit-elit lainnya. Tepat di poin ini apa yang saya maksudkan bahwa politik Gorontalo stagnan atau-pun tak mampu beyond dari realitas politik Gorontalo selama 15 tahun terakhir.
Fanatisme semacam ini tentu menjadi wabah pada konstruksi subjek politik, dimana membentuk keterbelahan yang hingga berujung pada konflik, bergerak melalui logika bineritas (benar-salah) dan seolah-olah memfreim fanatisme negatif. Tentu dengan prinsip logika bineritas semacam ini akan membentuk perbedaan (antagonisme) yang akut, padahal kasus itu juga merupakan efek dari pertarungan-pertarungan politik sebelumnya. Kalau-pun ini adalah realitas yang kita tidak bisa pungkiri, mau-tak-mau kita harus menerimanya sebagai kesekuensi pertarungan politik, namun pendekatan fanatisme negatif ini justru gagal membangun fanatisme produktif terhadap pemerintahan yang peduli atas politik kewarganegaraan. Tentu realitas ini menegaskan bahawa politik kaum muda Gorontalo semacam PAUS-BERMENTAL-TERI, yang kian memberi kedangkalan nalar politik.
Sungguh ironis memang, namun persoalan politik Gorontalo ini merambak logika-logika kaum muda lainnya, yang juga secara sengaja menjebak diri dalam arena politik dangkal.
Barangkali jawaban atas persoalan politisi muda ini ada pada diri, yang hanya dengan menyadarinya kita dapat menyatu dalam sebuah perbedaan kepentingan, sebagaimana Mouffe memformulasikan rantai persamaan (chain of equivalence) dapat terpenuhi, untuk menemukan titik artikulasi dalam medan politik : tak adanya pengelompokan idiologi, antara si kaya dan si miskin, etnis, pekerjaan, bahkan jenis kelamin sekalipun atau merasa diri sebagai elit yang saling berebut hegemoni. Begitu juga soal kekuasaan adalah merupakan penanda kosong (empty signifier) yang selalu rindu untuk diisi oleh prinsip-prinsip persamaan, dan tentu setiap gerak yang menafikan bentuk-bentuk kesadaran ini akan tergambarkan pada NIAT (maksud dan tujuan), disini subjek posision bercokol dengan diskursus yang menunjukan niatnya, walau-pun hal itu terlihat sangat abstrak melalui simbol atau gestur politik setiap subjek-subjek(Mouffe:2000).
Dalam Islam pun telah jelas bahwa keterbelahan, yang tercipta dalam kehidupan harus disandarkan dalam tauhid : dimana kesadaran eksistensial atas tuhan, alam, dan seluruh isi-nya merupakan proses terbentuknya humanisme transendental (Barsihanur: 2009). Kadang-kadang kita memaknainya dalam kekeliruan, bahwa perbedaan-perbedaan (keterbelahan) ini harus di hilangkan dan disitulah kita telah mereduksi nilai-nilai ke-Islam dalam subjektivitas akut atau fanatisme negatif. Padahal Islam sendiri bukan sesempit itu, hanya saja Islam menempatkan epistimologi kehidupan dalam NIAT, Rasionalitas dan kesatuan ayat (Al-Qur’an, Haditz, Sunnah) sebagai syarat penting bagaimana kehidupan ini dijalani (Hasan Hanafi:2007).
Persoalan ini tentu akan menjadi sulit ketika kita memahami kekuasaan atau-pun politik adalah kebutuhan, sehingganya dalam realitas politik semacam ini, kita perlu membongkar NIAT atas apa yang melatar belakangi perebutan kekuasaan Gorontalo, namun bukan untuk menghadirkan kecurigaan atau-pun menafikan kebaikan, ketulusan, tetapi terus menyadarinya dan melacak maksud dan tujuan dari perebutan kekuasaan, adalah jawaban yang pas dari sebuah krisis etika kekuasaan Gorontalo hingga hari akan datang.
Sesunguhnya tulisan ini hanya menegaskan apa yang ada dibalik realitas (behind of reality) atau dalam bahasa Lacan Yang Riil : rekam jejak realitas yang saling berkelindan diantara Yang Simbolik dan Yang Imajiner, dalam arti lain Yang Riil merupakan realitas yang tak pernah terucapkan, namun hadir melalui simbol dan imajinasi dari gerak realitas itu sendiri. Begitu prinsip dasar dari tulisan ini, dan sekaligus menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah suatu kebutuhan, namun kekuasaan adalah pangilan dan jawaban atas krisis etika kekuasaan Gorontalo hari ini.
