Gorontalo

Indahnya Wajah Desaku Disulap Satgas TMMD 102

MCB.Com (Gorontalo) – Sore itu, jarum jam menunjukkan pukul 16:27 Wita. Anak-anak sekolah sedang menikmati puncak penyesalan yang telah disulap menjadi indah nan asri. Sejumlah anak-anak terlihat saling kejar-kejaran, ada pula yang menghabiskan waktu meng-googling tugas sekolah via internet—sambil berswafoto (Selfie). Mereka menunggu sang surya terbenam di ufuk barat.

Tampak pula dua ekor Burung Perkutut bertengger di tangkai pohon rindang, sebesar pergelangan tangan anak kecil. Dua ekor Burung Perkutut tersebut menggoyangkan badan dan menggelengkan kepalanya sambil berkicau, seakan ingin mengatakan sesuatu, “Oh…, betapa indahnya desa ini.”

Selain itu, gerombolan Burung Pingai atau biasa disebut  Burung Gereja, sejenis burung pipit kecil, ikut pula menikmati suasana sore hari di area puncak penyesalan. Suara cerecetannya sangat tajam—menambah sejuknya suasana alam. Sepertinya burung-burung itu tak mau ketinggalan melewatkan waktunya ikut bergembira ria bersama anak-anak.

Anak-anak berswafoto (selfie) menikmati puncak penyesalan. (Foto: Wawan)

Seperti biasanya, sore hari jalan memang sedikit ramai. Apalagi bertepatan dengan hari kerja, para pegawai yang bertugas di Desa Sari Tani pulang ke rumahnya masing-masing dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Mereka terpaksa harus melewati puncak penyesalan, sebab tak ada alternatif jalan lain.

Dulunya, jika melewati puncak penyesalan, sungguh mengkhawatirkan.  Jalannya cukup curam, sehingga kerap kali pengendara motor roda dua mengalami kecelakaan. Belum lagi ketika musim penghujan, jalannya pasti licin dan berbahaya.

Kini, jalan melewati puncak penyesalan tak lagi menakutkan seperti sebelumnya. Tanjakannya sudah tampak landai, sehingga kendaraan tak harus  khawatir melewatinya. Anggota TNI melalui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) 102 telah berhasil merubahnya.

Meskipun sudah diperbaiki, para pengendara diminta agar tetap ektra hati-hati. Maklum, jalannya belum diaspal beton—baru sekedar ditimbun dengan pasir sirtu dan dipadatkan dengan menggunakan alat berat Bomag.

Kondisi puncak penyesalan sedang diperbaiki (Foto: Wawan).

Puncak penyesalan merupakan bagian dari proyek jalan sepanjang 5 kilo meter yang dikerjakan oleh Satgas TMMD 102 yang menghubungkan dua desa terpencil, yakni Desa Pangea dan Desa Sari Tani di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.

Sebagian masyarakat di desa tersebut tak lagi menyebutnya puncak penyesalan, namun mereka menamakan puncak impian. Ada pula yang memberi nama puncak harapan. Artinya, ketika melewati puncak itu tak ada lagi penyesalan. Masyarakat justru memiliki harapan dan impian untuk merubah hidupnya kearah yang lebih baik.

Alhasil, kehadiran Satgas TMMD 102  di desa terpencil tersebut memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi masyarakat. Tidak hanya pada perbaikan infrastruktur, tapi status sosialpun terjadi perubahan.

Perbaikan jalan dan pembuatan plat deker yang dilaksanakan TNI, merupakan salah satu faktor pendukung utama meningkatnya ekonomi rakyat. Belum lagi pembuatan jamban keluarga, rehabilitasi sekolah dan Masjid.

Tidak kalah menariknya adalah dibangunnya sebuah gedung  Kantor Tiga Pilar yang bakal ditempati oleh Kepala Desa, Babinsa dan Babhinkantibmas. Kantor tiga pilar ini berfungsi sebagai deteksi dini dan cegah dini dalam mengatasi persoalan di desa. Tujuannya, agar tercipta sinergitas antara pemerintah desa, kepolisian dan TNI.

TNI bersama masyarakat sedang bergotong royong mengerjakan plat deker. (Foto: Wawan)

Kehadiran TNI melalui program TMMD 102 mampu merubah wajah desa. Pendekatan humanis yang dilakukan anggota TNI, menggerakkan  masyarakat untuk selalu bergotong royong. Sekecil apapun kegiatan masyarakat, TNI selalu tampil di tengah mereka untuk selalu memberikan suport.

Dansatgas TMMD 102 yang juga Dandim 1304/Gorontalo, Allan Surya Lesmana mengingatkan anggotanya bahwa TMMD merupakan program sosial. Oleh sebab itu dibutuhkan komunikasi timbal balik yang humanis. Kemanunggalan TNI dan rakyat bukan hanya sebatas lips service, tapi benar-benar diimplementasikan.

Kontan saja masyarakat begitu antusias menyambut anggota TNI dalam melaksanakan progran TMMD. Hadirnya TNI memberikan kehidupan baru bagi masyarakat dan merubah wajah desa menjadi indah. Tak heran TNI dibanjiri ucapan terima kasih dari berbagai elemen masyarakat.

Selama sebulan program TMMD 102 di desa tersebut, TNI selalu memberikan hal terbaik. Keharmonisan dan ikatan kekeluargaan terjalin indah diantara TNI dan mayarakat, tak ada sekat sedikitpun. Canda dan tawa menjadi perekat keakraban.

TNI harus mengahiri masa tugasnya di tempat itu. Sejak 10 Juli 2018 TNI berbaur dengan masyarakat. Upacara penutupan akan digelar pada tanggal 8 Agustus 2018. Tak ada kata-kata yang indah selain rasa syukur dan terima kasih kepada TNI yang telah berbakti—mengubah wajah desa menjadi baik.

Rakyat selalu menggantungkan harapan di pundakmu, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini. Amal baktimu selalu terpatri di hati rakyat. “Jayalah TNI, Jayalah bangsaku, jayalah negeriku, rakyat selalu bersamamu”.

Anak-anak sekolah sedang meng-googling tugas sekolah via internet di puncak penyesalan (foto: Wawan)

Sekilas Kisah Puncak Penyesalan

Tahun 1985, Pangea merupakan nama salah satu dusun di Desa Bongo Nol, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Gorontalo. Dusun Pangea termasuk masih hutan belantara, tidak  berpenghuni. Jarak tempuh dari pusat Desa Bongo Nol terbilang jauh.

Singkat cerita; Suatu ketika, sekitar tahun 1989, sekelompok masyarakat berasal dari Desa Suka Maju ingin membuka lahan perkebunan di Dusun Pangea. Mereka berjalan beriringan menelusuri jalan setapak di tengah hutan belukar dan rumput tebal dengan menggunakan sandal jepit.

Bermodalkan keberanian serta kesabaran, mereka melewati beberapa gunung dan tanjakan yang sangat curam. Nah, tibalah mereka di salah satu puncak gunung. Mereka beristirahat sejenak sambil meneguk air yang telah dipersiapkan dari rumah.

Eh, tiba-tiba salah seorang diantara mereka bertanya, “Masih berapa jauh perjalanan yang harus kita tempuh sampai di lokasi tujuan?” Temannya yang juga sebagai Ketua Kelompok menjawab, “Ini baru separuh perjalanan. Kita masih harus berjalan berjam-jam sampai di tempat tujuan.”

Mendengar jawaban ketuanya, ia langsung menepuk dahinya. “Wadduh…, kalau cuma saya tau seperti ini, saya tidak ikut. Saya menyesal…! Saya capek…! Mau kembali ke rumah—perjalanan sudah terlalu jauh, mau meneruskan perjalanan—jaraknya tempuhnya masih jauh juga,” ujarnya menyesal. Itulah sekilas nama sebuah puncak gunung penyesalan yang menjadi popular di tengah masyarakat.

Wajah puncak penyesalan stelah dikerjakan oleh TNI melalui program TMMD 102 (Foto: Wawan)

Pada tahun 1991 Dusun Pangeya menjadi desa persiapan yang dipimpin Ibrahim Habi. Kemudian tanggal 21 Maret 1995, Pangeya ditetapkan menjadi desa definitif yang ke-12 di Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Gorontalo yang diresmikan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulawesi Utara, E. E. Mangindaan.

Desa Pangeya terdiri dari enam dusun, yakni; Tanjung Harapan, Iloponu, Olibuhu, Huto, Tang dan Mooti. Desa Pangeya terdapat di ujung barat—berbatasan dengan Kabupaten Buol dan Toli-toli. Sejak tahun 1991, Pangea merupakan daerah transmigrasi yang hanya dihuni oleh 100 orang, yakni, 50 orang transmigran dari jawa dan 50 orang penduduk asli Gorontalo.

Tanggal 12 Oktober 1999, Kabupaten Gorontalo dimekarkan menjadi Kabupaten Boalemo berdasarkan Undang-undang Nomor 50 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-udang Nomor 10 tahun 2000 tentang pembentukan Kabupaten Boalemo. Dengan demikian, saat itu Desa Pangea masuk pada Kabupaten Boalemo.

Lambat laun Desa Pangea semakin bertambah penduduknya. Tahun 2003, Desa Pangea kembali dimekarkan menjadi tiga desa, yakni Desa Tanjung Harapan dan Desa Sari Tani. Sebelum dibukanya jalan yang saat ini telah diperbaiki oleh Satgas TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) 102, masyarakat hanya bisa naik perahu katinting menyusuri Sungai Paguyaman.*****

 

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top