(WARUNG KOPI) – Tahun 2018 mendatang Kota Gorontalo akan menggelar pemilihan walikota dan wakil walikota. Berbagai asumsi dan prediksi mulai berkembang di berbagai media sosial, termasuk di Warung Kopi. Jika melihat peta politik dan elektabilitas saat ini, dapat disimpulkan sementara, Marten Taha masih memiliki potensi kemenangan untuk menduduki kembali orang nomor satu di Kota Gorontalo.
Namun yang menarik bahan diskusi sejumlah kalangan di berbagai Warung Kopi, Marten Taha justru dikhawatirkan bakal tidak bisa bertarung pada Pemilihan Walikota (Pilwako) mendatang. Pasalnya, perolehan suara Partai Golkar di DPRD Kota Gorontalo hanya 4 kursi—tidak memenuhi syarat pencalonan sebagaimana ketentuan Undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Artinya, Partai Golkar yang akan digunakan Marten Taha diwajibkan harus berkoalisi.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 40 ayat (1) menyebutkan, “Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 % jumlah kursi Dewan Perwakilan Daerah atau 25 % akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota DPRD yang bersangkutan”.
Untuk memenuhi 20 persen pencalonan kepala daerah, pasangan calon minimal memiliki 5 kursi di DPRD (1/5 X 25 kursi DPRD Kota Gorontalo saat ini). Diketahui formasi kursi di dewan kota: Golkar 4 kursi, Demokrat 4 kursi, PAN 4 kursi, PDI-Perjuangan 3 kursi, PPP 3 kursi, Hanura 3 kursi, PBB 2 kursi, Gerindra 2 kursi.
Menariknya, ada issu skenario menjegal Marten Taha agat tidak bisa maju kembali di pilwako. Istilah yang digulirkan adalah “Asal Bukan Golkar (ABG)”. Hal ini menunjukkan bahwa pilwako akan lebih seru pada pencalonan—bukan pada pemilihannya. Konon Hanura, PDI-P, dan Gerindra mengarah ke Adhan Dambea. Sementara Demokrat, PPP, dan PDI-P sudah dipegang Rama Datau. Sedangkan PAN akan digunakan Lola Yunus.
Marten Taha bersama pendukungnya di Pondok Sahabat MT
Lantas bagaimana dengan nasib Marten Taha? Jika benar formasi kursi di DPRD Kota Gorontalo telah diatur sedemikian rupa untuk menjegal Ketua DPD II Golkar tersebut, maka pilihan atau langkah satu-satunya yang harus dilakukan Marten Taha, terpaksa melalui jalur independen.
Asumsi dan prediksi ini dihimpin MCB.Com pada diskusi Warung Kopi di berbagai tempat. Bahkan opini yang berkembang dan didiskusikan diantara kalangan pengunjung Warung Kopi, Marten Taha tidak memiliki kos politik (political cost) untuk membiayai partai politik lainnya berkoalisi. Sementara mantan Ketua DPRD Provinsi Gorontalo itu dianggap tidak memiliki uang. Ia terlalu jujur.
Nah, kita tunggu saja perkembangan skenario politiknya. Dalam politik selalu dinamis. Politik dapat berubah-ubah oleh ruang dan waktu. Disampng itu, apakah Marten Taha akan tetap menggunakan partai politik atau melalui jalur independen? Atau bisa jadi Marten Taha tidak bisa tercalon.
Sejarah pemilihan langsung calon walikota dan wakil walikota selalu memakan korban. Apakah Marten Taha akan mengikuti jejak AW Thalib (Tahun 2008) dan Adhan Dambea (Tahun 2013), juga tidak bisa ikut pilwako dengan kasus dan persoalan yang berbeda? Wallahu A’lam Bishawab.***
