Opini

KETIKA TE LEK MENDEBAT MARX DAN ERHA

Membaca landscape politik di Gorontalo, anda (yang bukan orang Gorontalo)—baik yang kiri tancap gas, maupun yang balik kanan tabrak lari—pasti akan mengalami semacam cultural-shock, karena terpapar radiasi parakololo, atau dapat disebut anda sedang mengalami situasi “ter-parakololo-kan”.

Anda  pasti bertanya: “apa sih parakololo itu? Koq dicari di kamus-kamus ilmu politik nggak ada?” Ya sudah pasti nggak ada, jangankan di kamus politik, di kamus bahasa Gorontalo saja tidak ada. Eh, tapi, apa pernah ada kamus bahasa Gorontalo???

Baiklah, begini tuan dan nyonya sekalian.

Secara glosematik (yang saya bawa keluar dari prinsip-prinsip keilmuannya), di Gorontalo, dalam seni berkata-kata, bersenda gurau, serius, maupun yang sama sekali tidak serius, hiduplah apa yang dapat dikatakan suatu tradisi parakololo. Ia dapat digolongkan ke dalam bentuk sarkasme yang melepaskan aspek ekstrim revolusionernya. Juga dapat dimasukkan dalam kategori lawakan eklektik yang selalu melahirkan materi-materi parakololo baru dalam sekejap. Dan tak jarang ia menjadi tipu muslihat yang tersembunyi dalam kata-kata.

Sudah cukup jelas belum? Ya, tepat, teori yang saya gunakan adalah glosematik yang diterapkan di Gorontalo, terutama untuk menambah kebingungan anda memahami apa itu parakololo. (rasain kalian!)

Tetapi (ini serius) justru dari glosematik yang disesuaikan itulah anda sebetulnya bisa mendapatkan jalan kontemplasi menyelami situasi kekinian Gorontalo di mana sebagian besar elit dan pemimpinnya mengelola kekuasaan mereka dengan gaya parakololo. Ini menarik.

Nah, rencananya sih saya mau menuliskan sebuah analisis terpadukan untuk membuktikan kepada tuan dan nyonya sekalian mengenai parakololo dalam relasi kuasa. Namun, setelah menyulut sebatang rokok dan mulai melakukan ritual verstehen, eh, saya malah bablas ketiduran…

Jllleebbb…

Lalu masuklah saya ke alam mimpi…

Mimpi yang agak aneh, tampaknya karena terlalu memikirkan parakololo, ditambah ritual verstehen saya belum mencapai klimaksnya.

Dalam mimpi, saya melihat Marx yang juga sedang tertidur dan bermimpi. Ia sedang bergegas dengan tergesa menuju ke sebuah rumah, semacam rumah dinas. Wajahnya tampak beku dan serius, ia sedang memikirkan sesuatu sehingga tidak begitu memperhatikan sekitarnya.

Setibanya di rumah dinas, seseorang mendekati dan menyalaminya. Marx sedikit terkejut. Seorang anak muda berdiri persis di depannya dan memperkenalkan diri: “saya AlHip Pak Marx, juru selfie pak ErHa, mari Pak Marx,” pemuda itu mempersilahkan Marx masuk ke ruangan.

Marx mulai bingung. Saya apalagi. Sejurus kemudian saya baru ingat… “Lho AlHip ini kan yang suka ngapload foto-foto selfie bersama ErHa. Lho berarti Marx sedang bermimpi berada di Gorontalo, di rumah dinas Gubernur, apa dia tahu soal ini?

Di tengah geregetan yang mulai membuncah itu, mata saya terus mengikuti gerakan Marx, ia berjalan cepat masuk ke ruangan tengah mengikuti petunjuk si AlHip. Setelah berada di ruangan, ErHa segera menyambut Marx disusul kemudian seseorang…eh…busettt, itu kan te Lek, sufi materialisme-metafisik yang begitu terkenal di alamnya, sosok yang begitu menginspirasi saya, bagaimana bisa beliyo ada di sini??? Batin saya berkecamuk.

Setelah sesi salam-salaman, cipika-cipiki, dan selfie-sepihak, ErHa lalu membuka pembicaraan. Saya menyimak dengan khidmat plus makin geregetan. Kelihatannya ini akan jadi perbincangan tingkat dewa.

Selamat datang Pak Marx. Saya pikir saya pe utusan tidak berhasil menemukan ti Pak pe kediaman setelah ti Pak diusir dari Prancis.

Jadi begini Pak Marx, langsung saja pa depe inti persoalan. Saya akhir-akhir ini, sering dinyinyir oleh saya pe oposan. Dorang bilang saya pe pemerintahan ini tidak nomics kata. Apalagi te EsPe itu, dia bekeng palato turus saya. Tahu apa dia soal saya pe usaha untuk membangun Gorontalo ini!

Suara ErHa terdengar bergetar. Sepertinya perasaan mulai menguasai rasionalitasnya, ia mulai baper…

Tahu apa dia kalo tiap saya ba blusukan saya jaga bagi-bagi doi pa masyarakat yang saya kunjungi itu. Ati’olo, saya juga tahu dorang pe penderitaan. Saya ini orang yang tidak pelit soal uang Pak Marx, selama saya masih ada saya kase, kalau so tidak ada pokoknya saya mo cari sampe dapa, bagaimanapun caranya. Di tidak tahu kan saya pe sisi dermawan itu. Padahal so jadi rahasia umum, dan beberapa kali saya jaga suru muat di Koran lokal sini, adebo tetap di nyinyir turus saya Pak Marx.

Mata ErHa mulai berkaca-kaca. Sejenak dia berhenti, lalu menarik nafasnya dalam-dalam.

Karena itu, saya undang ti Pak Marx di sini untuk sekiranya dapat memberi masukan soal bagaimana membangun sistem ekonomi yang bisa membahagiakan semua orang.

Pak Marx kan depe ahli soal ini. Biar jarang baca buku, tapi saya pernah diceritakan EfTe soal pemikiran-pemikiran li Pak Marx yang luar biasa itu.

Saya nyaris tersedak, ErHa mulai bakoprol. Tak tanggung-tanggung nama EfTe dijadikan tumbal.

Sesaat kemudian, semua mata (mata ErHa, mata Lek ditambah mata saya) di ruangan itu segera tertuju kepada Marx, yang sedari tadi diam, terlihat bingung, namun tetap menyimak dengan serius. Saya cemas dan sedikit geli, dengan bahasa apakah Marx akan menjawab. Lalu tiba-tiba terlihat Marx bersiap untuk menjawab.

Baik, odu’olo comrade ErHa yang sudah mengundang saya kesini, di mana dalam kesempatan ini saya diminta untuk memberikan tanggapan berupa ide sebelum kongres nanti di Brussel.

Hah! Marx rupanya menguasai logat konversi Gorontalo-Manado, dahsyat! Dan owalah, ternyata Marx mengira ia sedang di Brussel, sedang rapat pra-kondisi untuk membentuk liga di kongres tahun 1847 silam. Berarti dia mengira ErHa adalah salah satu pimpinan gerakan buruh…(haa gaga ini)

Sebetulnya bagini comrade, ente memang salah, ente bahkan tidak taktis. Sebab tertinggi segala ketimpangan itu ditentukan oleh perubahan proses produksi dan pertukaran. Ente sebagai pimpinan gerakan di distrik Gorontalo ini mestinya menyadari bahwa sedang terjadi perubahan proses produksi akibat kapitalisme. Faktor ekonomi comrade Erha, faktor ekonomilah yang menentukan segalanya.

Nah ente malah mendorong perubahan proses produksi itu. Coba ente lihat dulu te comrade Padeli, dia menciptakan sirkulasi komoditas yang menghasilkan nilai lebih bagi petani, meskipun dia juga menikmati sirkulasi kapitalnya. Lah ente malah mendorong terciptanya kelas menengah nyaman dan kelas dominan mapan, lewat ente pe bagi-bagi proyek itu…eh, maksudnya dengan ente pe cara dermawan itu. Ente mau niru-niru sosialis utopia?!

Ente… ah parah ente comrade, pokoknya di kongres nanti di Brussel, ana tidak dukung ente!!! Comrade parakololo ente ini! eeyyy ErHa ente pe materialisme mekanik itu so verouderd, segera ente pake ana pe konsep materialisme dialektik kalo ente memang ingin mendapatkan ana pe dukungan di Brussel nanti!

Marx menggebrak meja, ia tampak kecewa… sementara ErHa menatap ke langit-langit rumah, sepertinya ia mulai menyadari beberapa hal, suasana hening cukup lama…

Sebelum akhirnya suara berwibawa itu memecah keheningan…orang yang saya tunggu, angkat bicara, ya, te Lek, sedari tadi ia belum bicara…

Ehhmm… woolo ‘uhebisalawa limongoli botiya? Tangota mopobilohu motota bo ja ‘o’adabu. Pooli ungota liyo jaboti ‘o’adabu wawu jaboti ‘o’ilimu. Heh! ‘uhebisalawa limongoli botiya bo donggo to olipiyo uti. Rakyati bohe po’alo limongoli ideologi turusi?! Popo’a limongoli sumbangan turusi?! Ha! Omoluwa tingoliyo mali motota wawu motapu “dalalo” tingoliyo lo hilawo?!

Mata Lek bergantian melihat ke arah Marx dan ErHa. Tajam sekali… saya merinding…

Eeeyy Marx, ErHa, ‘u’otawamu otawa’u, ‘u’otawa’u ja otawamu! Po’oyo mola, “batanga” lo hilawo dipo loo urusaniya mamongurusani rakyati…!

Guubbrraaakkk…!!!

Tiba-tiba tangan saya reflek mengayun kencang dan membentur bagian bawah meja, sela jari yang mengapit rokok sebelum tertidur tadi, melepuh…

Ah, sialan…

Saya baru saja terjaga dari mimpi yang sangat penting dan mencerahkan.Lama saya terpaku mengumpulkan kesadaran.

Sepertinya, lewat mimpi tadi te Lek, sufi materialisme metafisik yang kini menyepi di pinggiran Jogja itu sedang mengirimkan pesan bahwa persoalan-persoalan di Gorontalo telah melampaui problematisasi parakololo itu sendiri dan relasinya dengan kuasa…

Wallahu a’lam_

Susanto Polamolo
Selain Fans fanatik Dian Sastro, ia juga pakar hukum tata negara yang kurang sukses

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top