Oleh : Ali Mobiliu
“Susupo” adalah jenis kenderaan khas Gorontalo yang kecepatannya melebihi motor merk “Suzuki” buatan Jepang. Kenderaaan jenis ini biasanya dikendarai oleh mereka yang memiliki target-target tertentu untuk mengadu domba melalui politik “belah bambu”, satu diangkat, satu diinjak atau pihak yang satu dikoprol, pihak lainnya dijatuhkan.
Dalam tataran prakteknya, “Susupo” biasanya dilakoni oleh mereka yang “tidak memiliki kesibukan” atau ada kepentingan tertentu yang ingin diraihnya. Orang yang Susupo dan tukang Cari Muka (Carmuk) itu beda-beda tipis. Susupo juga merupakan bagian dari upaya “Moheyingo” dalam bahasa Gorontalo, yang artinya menggiring, menghasut, memanas-manasi atau mempengaruhi orang lain untuk ikut memusuhi seseorang yang tidak disukainya.
Jika dicermati, kemarahan, kebencian yang berujung pada serangan dan manuver mantan Bupati Gorontalo David Bobihoe Akib (DBA) yang ditujukan kepada Bupati Prof. Nelson Pomalingo (NP), lebih dipicu oleh faktor keberadaan tukang “Susupo” yang ada di sekitar DBA sendiri.
Insiden Shopping Centre, dimana DBA melayangkan tudingan tentang “fitnah” kepada NP beberapa waktu lalu, menjadi salah satu indikasi yang jelas, bahwa ada tukang Susupo di sekitarnya. Indikasi lainnya dapat dicermati dari tudingan-tudingan yang sebenarnya tidak tepat menjadi alasan baginya untuk membenci dan terus menyerang Bupati yang berlatar belakang akademisi itu. Misalnya, tudingan Bupati NP yang sering bolak-balik ke Jakarta sehingga gagal membawa Kab. Gorontalo ke arah yang lebih baik dan untuk itu harus diganti. Pertanyaannya, sebegitu bahayakah, Bupati NP bolak-balik ke Jakarta di hadapan DBA?, sebegitu parahkah kinerja Bupati NP sehingga ia begitu bernafsu menyerang dan ingin mengganti Bupati NP?. DBA dalam konteks ini sudah bertindak terlalu jauh di luar rasionalitas.
Sebenarnya, sikap yang demikian bernafsu menyerang Bupati NP, justru menjadi bumerang bagi DBA sendiri. Ia seakan tidak sadar bahwa justru tudingannya terhadap Bupati NP yang katanya gagal memimpin Kab. Gorontalo dan harus diganti, akan “Memukul balik“. Artinya, tudingan itu akan menggiring masyarakat untuk kembali melihat masa lalu di periode kepemimpinannya selama 10 tahun dan membandingkannya dengan kinerja NP selama 3 tahun.
Tanpa dirinci sekalipun, masyarakat saat ini sudah memiliki gambaran yang jelas, capaian pemerintahan DBA selama 10 tahun dan kinerja 3 tahun Bupati NP. Realitas saat ini menunjukkan, hanya dalam 3 tahun, keberhasilan pemerintahan Bupati NP begitu vulgar terlihat dengan indikator yang jelas dan terukur. “Baru 3 tahun saja, kemajuan Kabgor so bagini, bagaimana jika NP memimpin dua periode, tantu capaiannya akan 3 kali lipat dari yang sekarang. Akan seperti itu logika berpikir masyarakat. Dengan begitu, serangan DBA terhadap Bupati NP berada pada momentum yang tidak tepat, yakni manuver dilakukan, justru ketika nama Bupati NP tengah berkibar. Apalagi setelah Pemilu 17 April lalu, dimana Partai PPP yang dipimpinnya meraih perolehan kursi yang cukup signifikan.
Lantas, siapa saja yang menjadi “Tukang Susupo”, apa motif dan taregtnya? Untuk menjawab pertanyaan itu sangat mudah. DBA nampaknya telah terbawa arus pada pola permainan yang dirancang oleh mereka-mereka yang mungkin pernah “kecewa” dengan kebijakan Bupati NP, mereka yang mungkin tidak terakomodir kepentingannya dan mereka yang mungkin sejak awal tidak suka terhadap kepemimpinan sang Deklarator Provinsi Gorontalo itu. Lebih spesifik lagi, ada diantara mereka, kelompok-kelompok yang frustasi karena selalu gagal dalam “menggoreng” setiap celah kesalahan pemerintahan Bupati NP sehingga mencoba untuk memanfaatkan dan mendompleng ketokohan dan nama besar DBA. Targetnya adalah merongrong dan mengganggu pemerintahan NP hingga tidak lagi terpilih pada periode kedua.
Instrumen yang juga turut memperkuat dugaan adanya Tukang “Susupo di sekitar DBA adalah ternyata permasalahan yang sesungguhnya tidak bersumber dari Bupati NP. Buktinya, semenjak memimpin Kab. Gorontalo, NP sama sekali tidak pernah melakukan “pembersihan” terhadap kader-kader handal DBA di Birokrat yang dapat memunculkan ketersinggungan. Bupati NP juga sejauh ini tidak pernah melarang pejabatnya untuk bersilaturahmi dengan DBA. TIDAK PERNAH menghujatnya, tidak pernah berulah merongrong kewibawaaan tokoh yang juga mantan Sekda Kab. Gorontalo itu. Bahkan selama 3 tahun terakhir ini Bupati NP mencoba melanjutkan program-program yang pernah dilaksanakan di era DBA. Itulah sebabnya, karena merasa tidak pernah berbuat salah dan menyakiti, sampai-sampai pada hari Raya Idul Fitri tahun 2018 lalu, NP memboyong seluruh pejabat untuk berilaturahmi di kediaman DBA, kendati tidak berhasil karena pintu pagar rumah yang tadinya terbuka tiba-tiba ditutup.
Memang sejak dulu, Bupati NP sangat menaruh hormat terhadap ketokohan DBA. Puncak keakraban dan persahabatn kedua tokoh ini terjadi pada saat Pemilihan Gubernur tahun 2011 silam, dimana NP lebih memilih berpasangan dengan DBA, hingga muncul calon pasangan DAVIDSON yang lebih dikenal dengan pasangan Upin-Ipin. Kendati ketika itu, NP memiliki tawaran posisi yang sama bahkan ada yang menggadangnya menjadi calon Gubernur. Namun dengan elegan, Nelson mengatakan ketika itu, “saya memilih berpasangan DBA karena, beliau tokoh birokrat senior di Gorontalo. saya selalu menaruh hormat kepada beliau” itu ungkapan yang selalu terlontar.
Tidak hanya itu saja, pertalian persahabatan DBA dan NP bukan hanya persahabatan yang datang tiba-tiba. Persahabatan keduanya merupakan semacam “Reinkarnasi” dari sejarah. Karena leluhur keduanya adalah sama-sama pembesar Kerajaan Panipi pada zaman dulu. Konon leluhur DBA adalah Raja Panipi, ada juga yang mengatakan Panglima Perang Kerajaan Panipi. Sementara leluhur NP merupakan Sekretaris Kerajaan Panipi (Sikili). Dikisahkan. Ketika pasukan Belanda menyerang Kerajaan Panipi, memaksa para pembesar Kerajaan ini harus mengamankan diri dengan menyeberang Danau Limboto dan tiba di suatu tempat yang dikenal dengan “Dehuwalolo” sekarang. “Dehuwalolo” menurut penuturan beberap sesepuh, berasal dari kata “Pilodehuwa lo’u Mololo”, yakni tempat dimana para pembesar Kerajaan Panipi, menjadi sedih karena harus meninggalkan kampung halaman mereka di Kerajaan Panipi yang berpusat di Batudaa sekarang.
Meski telah melarikan diri, namun para pembesar Kerajaan Panipi ini terus dikejar-kejar dan dicari oleh Belanda. Menurut cerita dari mulut ke mulut, untuk menghindari kejaran pasukan Belanda, para pembesar Kerajaan Panipi di Limboto, terpaksa harus menyamar menjadi rakyat biasa dengan menggunakan nama dan identitas lain untuk mengelabui pasukan Belanda. Salah satunya, Sekretaris Kerajaan Panipi (Sikili), diganti atau disebut dengan istilah “Ti Dulutuli” sebagai penyamaran yang pada perkembangannya, menjadi cikal bakal dari marga “Tuli” yang ada di Gorontalo sekarang. Titisan leluhur NP sebagai pembesar Kerajaan Panipi “Dulutuli” melekat pada sang Ibunda Hj. Nelly Tuli.
Oleha karena itu, di tataran bawah, ada keterkejutan, masyarakat tidak menyangka jika DBA menaruh amarah yang sedemikian hingga begitu bernafsu hendak mengganjal kelangsungan kepemimpinan Bupati NP. Yang lebih disayangkan lagi, jika persahabatan yang terjalin diantara para leluhur mereka ratusan tahun silam, yang kemudian terlahir kembali pada generasi keturunannya, akhirnya menjadi sirna dan terputus, hanya karena persoalan yang sangat “tidak krusial”. Dengan demikian, sumber amarah DBA patut diduga hanya dipicu oleh akibat ketidaksadaran terhadap hadirnya para “Tukang Susupo”, kehadiran para penghasut dan pencari muka yang hendak mencoba “moheyingo” dan mengadu domba untuk kepentingan tertentu yang bersifat sesaat.
Dalam konteks ini, sebagai sumber pembelajaran, sikap mawas diri bagi pemimpin dan para tokoh sangat dibutuhkan, terutama dalam menyikapi dan menghadapi para “Tukang Susupo” yang selalu saja mengintai seperti hantu-hantu gentayangan. Bahaya tukang Susupo ini, dalam ajaran agama toh juga telah banyak disinggung untuk diwaspadai mengingat bahanya yang sangat besar. Dalam banyak kasus, jangankan satu kampung, gara-gara fitnah, tidak jarang satu negara sekalipun akan terlibat konflik dan perang saudara. Tidak heran jika dalam Al-Qur’an disebutkan, “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”
Satu hal yang menjadi harapan banyak kalangan terhadap figur DBA adalah, sebagai mantan pejabat, sebagai seorang tokoh yang menyandang gelar adat (Pulanga) yang begitu luhur, “Ta’uwa Lo Lahuwa” dapat menghabiskan masa tuanya dengan tenang, damai dan menjadi “pandito” yang tetap menjadi panutan dan penyejuk di tengah masayarakat. Sehingga jasanya akan terus diingat dan dikenang serta menjadi spirit bagi siapapun untuk bangkit meraih kemajuan. Sesungguhnya, ketokohan DBA dan kefiguran NP adalah aset daerah ini dalam menata dan menatap masa depan Kab. Gorontalo yang lebih maju. Keduanya masih memiliki dibutuhkan dalam membimbing melalui teladan menuju Kab. Gorontalo yang gemilang. Semoga (***)
