Opini

Te Es Em: “Antara Politisi Amatiran atau Akademisi Gampangan”

Oleh:Syamsurizal Abbas

(Ketua DPK KNPI DUNGINGI)

Entah mengapa akhir-akhir ini, saya disergap kegamangan dan mempunyai dorongan kuat untuk menoreh bait-bait kalimat, demi mengulas tindak-tanduk ‘unyu-unyu’ Te Es Em. Entah mungkin karena wajahnya yang ‘baby face’ hingga tampak gemesin, atau karena kelakuannya yang begitu dagelan bin nyeleneh. Entahlah!
Namun yang pasti, menurut saya:  Kisah Te Es Em akan sangat greget manakala tertoreh dan disimak lewat tulisan. Semoga!

*******

Begini. Te Es Em adalah tipikal manusia Indonesia (Gorontalo?) Modern. Ia berasal dari salah satu daerah yang berada di pulau Celebes. Latar belakang keluarganya adalah seba ‘ada’, nyaris tanpa kata: ‘tiada’. Ayahnya berprofesi sebagai Dustributor ikan ‘tuna’, sebelum pada akhirnya, didapuk menjadi pesuruh rakyat di salah satu parlemen legislatif. Sedangkan ibunya, berprofesi sebagai penikmat profesi dan hasil usaha ayahnya.

Te Es Em hidup dalam lingkup keluarga yang melek politik-ekonomi. Namun, merem disektor Sosial. Bagi keluarganya, segala aktivitas manusia harus berorientasi pada hitungan Politik-Ekonomis. Meski, terkadang harus ‘meludahi’ prinsip-prinsip sosial.

Nasab Te Es Em dalam keluarganya tidak terlalu jelas. Saking tidak jelasnya, Ia disebut sebagai anak ke dua belas dari sebelas bersaudara. Astaga. Benarkah? Wallahu a’lam.

Te Es Em amat gandrung dan percaya terhadap diskursus-diskursus tentang kemajuan dan tata kelola daerah yang efektif. Maka untuk itu, selepas menamatkan Masa sekolah menengah atas, ia tak ragu untuk mengenyam bangku perguruan tinggi. Ia memilih program study yang relevan dengan kegandrungannya tersebut. Ia berhasil menyudahi kuliahnya, setelah bertempur hebat dengan naskah-naskah akademik, selama empat tahun.

Tak puas hanya menjejali jenjang strata satu, ia kembali melanjutkan study pascasarjana. Ia berhasil lulus dan merengkuh gelar magister, meski dengan predikat yang jauh dari kata memuaskan, alias memprihatinkan!

Berbekal ijazah Strata dua, Ia memilih melamar kerja di salah satu perguruan tinggi negeri tuk menjadi salah satu staf pengajar (bukan pendidik!).  Ia mengampu mata kuliah: ”Metodologi Politik Koprol”.  Seiring berjalannya waktu, ia mulai ‘mengimani’ profesinya sebagai akademisi. Ia mulai rajin dan konsisten tuk berjibaku dengan bacaan, diskusi dan kajian Ilmiah. (Weleh, akademisi banget yaa?)

Diskursus akademik tentang Epistemogi kiri, karya para filsuf kritis Mazhab Frankurt, seperti:  Horkheimer, Marcuse, Adorno dkk diselaminya, lantas menjadikan kritik ideologi sebagai tajuk pemikirannya. Naskah-naskah Marxisme-Sosialisme hasil adukan Marx, Engels, dan Kautsky pun dilahapnya. tak lupa juga, Ia mendalami Kerangka Teoritis tentang “Hegemoni”, oleh Gramsci, serta “The Prince”, Maha Karya, Niccolo Machiavelli, Filsuf sekaligus maestro politik era Renaissance. Namun, (lagi) semua itu tak mampu mengubah konstruksi logikanya yang teramat pandir. (Dasar, akademisi gampangan!)

Singkat cerita, sore itu, Te Es Em menghadiri open house dari salah satu politisi kawakan sekaligus pegusaha papan atas. Maklum, di samping masih dalam suasana lebaran, juga  tersebab hajatan politik (Pileg/Pilpres) tak kurang dari dua tahun lagi. Eheemmm.

Te Es Em tampak rapi dengan padanan kopiah keranjang (khas Gorontalo) dan jas abu-abu, serta jeans levi’s pabrikan luar negeri. Ia begitu elegan ditambah sepatu pantofel merah muda (bak gincu para biduan) yang dibaluri dengan semir produk lokal. Tak lupa kacamata hitam bertengger di atas kepalanya, bak mahkota fir’aun tempo hari. Tumpangannya pun amat mewah, yakni mobil sporty limited edition. (Sekedar info), Jangankan Rakyat jelata, para aktivis karbitan alias  tukang jilat pantat penguasa pun pasti kan menepuk jidat lantas setengah pingsan, manakala mengetahui banderol dari tumpangannya tersebut.

Dari timbangannya, orang pasti kan menduga ia adalah politisi jempolan dengan karir politiknya yang tentu mentereng. Meski dengan kharisma yang pas-pasan, Juga dengan retorika yang serba belepotan. Namun meski begitu, Te Es Em tetaplah piawai dalam merayu dan meyakinkan (membohongi?) komunikannya.
Siapapun manusia yang menjadi lawan bicaranya, pasti dibuatnya klepek-klepek, seolah mengawang hingga angkasa. Bahkan, santer kabar beredar bahwa, ia pernah merayu dewi pandora (Dewi dalam mitologi Yunani), bahkakan nyaris menggerayanginya. Entahlah!

Dari kejauhan bibirnya tampak ngalor ngidul berbusa-busa, serta komat-kamit, bak dukun yang tengah berucap mantra ajaib. Agaknya ia tengah asyik berbicara dengan salah satu legislator  dari parpol ‘Merah Delima’,  yang juga menjadi salah satu tamu undangan di acara tersebut.
Pembicaraan mereka tampak serius, hingga memaksa saya tuk mendekat, untuk paling tidak sekedar menyimak isi pembicaraan tersebut.

Dan ternyata? Astaga!
Isi pembicaraan tersebut adalah tak lebih dari saling puji alias koprol antara mereka.
Mereka berdua tidak ubahnya seperti pasangan gay bin homo yang saling onani, hingga klimaks tanda ejakulasi pun terpahat jelas dari ekspresi mereka yang cengengesan tak jelas.

Setelahnya, tampak sang legislator tadi merogoh kantongnya dan memberi beberapa lembar rupiah bergambar Soekarno-Hatta kepada Te Es Em. Melihat itu,  dalam hati saya bergumam: “Tampaknya Te Es Em berhasil memuaskan birahi dan syahwat nakal si legislator yang memang gila pujian”.

Esoknya, di salah satu perguruan tinggi, kembali tak sengaja saya bersua dengan Te Es Em, dan (sekali lagi) ia tampak bercengkrama. Kali ini, ia bersilat lidah melawan salah seorang akademisi, kolega seprofesinya. Dan persis seperti kejadian kemarin, kali ini topik pembicaraannya bergeser, dari saling puji bin koprol, menuju strategi untuk kontestasi pemilihan pucuk pimpinan di perguruan tinggi tersebut.

Dari ocehan mereka, terdengar desir suara dari mulut sariawan nan bau tentang berbagai intrik dan taktik. Mereka tengah mempersiapkan strategi jitu nan akrobatik demi memuluskan jagoan mereka dalam kontestasi tersebut.

Kali ini Te Es Em benar-benar tidak ubahnya sepertih politikus kelas wahid. Ia begitu antusias. Syahwat politiknya sangat menggebu-gebu, bak don juan yang tengah menggerayangi ‘ayam kampus’ di atas ranjang. Te Es Em tampak klimaks berkali-kali, pun sama halnya dengan lawan bicaranya. Astaga!

Memang Te Es Em adalah akademisi bermental politisi. Hingga saya tak ragu menyebutnya sebagai “Politisi Amatiran juga Akademisi Gampangan”. Menggelikkan!!!

Dan sebelum menyudahi tulisan ini, Yakinlah bahwa saya telah menguras habis seluruh perbendaharaan makian-makian yang masih mungkin dirumuskan lewat kata, untuk kemudian dialamatkan kepada Te Es Em. Njirrr!!!

*******

Nb: Tulisan ini hanyalah fiktif belaka. Apabila terjadi kesamaan orang, tempat dan waktu, Maka: Silahkan Tersinggung!!!

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top