Nurhadi Taha
Ketua DPD KNPI Kota Gorontalo .
Kala itu di pagi hari hiruk suasana kendaraan yang sedang berlalalu lalang di area jalan Palma hingga pusat perkotaan tak seperti biasanya, sering-sering berdesak desakan dan sedikit agak macet. Di tengah kemacetan terjadi percakapan antar anak kecil umur 9 tahun bersama ayahnya sambil bercanda ria dan manjakan di pangkuan sang ayah.
“Papa…, ada acara apa ini papa…???” tanya anak kepada ayahnya. “Kenapa uti..?” jawab ayahnya, panggilan kesayangan pada anak laki-laki (Gorontalo). “Itu papa pe banyak bulu (bambu)?” lanjut tanya anak ke ayahnya. Jawab Ayahnya, “Ohhh, itu ada acara besar”. Sang ayah mencoba berkonsentarasi untuk memandu kuda berada pada bendi alat transportasi tradisional pada saat itu di Gorontalo.
Tak pelak sang anakpun terhenti untuk meneruskan bertanya ke ayahnya, karena saat itu suasana di jalan kian macet, dan sedikit-sedikit kuda yang ditunggangi sering membuat perilaku yang mengkhawatirkan. Sang anakpun mencoba menyimpan pertayannya di dalam hatinya, sambil berpikir acara besar.
“Apa gerangan yang sepajang jalan begitu banyak bambu di tepi jalan yang dihiasi dengan kertas berwarna,” tanya dalam hati—sambilanakpun menyimpan beberapa lanjutan pertanyaan. Kala itu sang anak dan sang ayah ini akan pergi ke pasar rakyat yang dikenal pasar senggol yang biasannya digelar pada bulan ramadhan.
Sang anakpum terus penasaran singkat cerita setelah berbebelanja di pasar senggol sang ayahpun dan anakpun langsung balik ke rumah. Sesampai di rumah, iapun (anak) langsung menyambangi setiap orang uang ada di rumah dan langusng bertanya kepada sang kakek kebetulan tinggal serumah bersama ayah dan ibu sang anak.
“Opa…!” ada bulu di sepajang jalan itu kenapa opa?” tanya sang anak. “Oh…, itu acara tumbilotoh—perayaan menyambut Lailatul Qodar (orang yang memberi pengampunan dan keberkahan),” jawab sang kakek pada sang anak.
Disinilah saya pertama kali mengenal tumbilotohe pada saat itu. Tumbilotohe adalah sebuah perayaan yang di lakulan oleh masyarakat Gorontalo pada 3 hari jelang hari raya idul Fitri. Dulunya perayaaan tumbilotohe dilaksanakan sebulan penuh, dengan tujuan untuk menerangi jalan-Jalan orang untuk beribadah sholat ke mesjid.
Tetapi karena perkembagan zaman tradisi ini semakin hari semakin diformulasi dalam bentuk berbeda, yang dulunya mengunakan bambu dan lampion yang di kelilingi oleh kertas berwarna yang sering disebut alikusu dalam Bahasa Gorontalo. Kini Tumbilotohe peryaaan sudah dilakukan setiap 3 hari menjelang idul Fitri dan beberapa lampinya dibuat secara modern dengan kreasi masing –masing masyarakat ada yang mengunakannya dengan lampu neon. Ada lampu hias dan sebagainya, bahkan trafisi sudah masuk sangat rutin dilakukan oleh pemeritah dengan cara dilombakan dalam bentuk festival. Tak hanya itu, tradisi lain yang kerap kali di langsungkan bersamaan dengan tumbilotohe adalah beduk atau dikenal dengan koko,o serta bunggo meriam yang dibuat melali bambu permainan masyarakat Gorontalo.
Pada hakekatnya tradisi ini adalah menyambut malam lailatul Qodar yang menurut kepercayaan turun pada 3 hari jelang penghujung ramadhan dengan tujuan agar masyarakat Gorontalo dapat meningkatakn ibadah ke mesjid beritikaf dan meminta keberkahan, semoga saja tumbilotohe bisa menjadi masyarakat Gorontalo.
Tercerahlan dan bisa meraih kemenangan yang akan kita rayakan pada sholat idul fitri nantinya dan sayapum berdoa kita semua akan menjadi manusia yang Baldatun Toyibatun Warabbun gafur selamat Hari raya idul Fitri 1438 Hijiriah—2017 Masehi.**
