Deburan ombak memutih menderu memecah indahnya pantai Desa Binthalahe Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango. Sesekali terdengar kicauan burung dari balik pepohonan, seakan mengiringi derap langkah setiap orang yang melintasinya. Apalagi suasana pagi. Udaranya segar dan dingin menusuk tulang sumsum. Dari balik semak belukar dan pepohonan di atas sebuah gunung kecil sang mentari datang seolah malu-malu menampakkan wajah cerianya. Kini, semua itu tinggal penggalan-penggalan kisah masa lalu atas suasana desa itu. Di desa itu kini berdiri sejumlah bangunan Perusahaan Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dari Manajemen PLTU ini sang Kepala Desa dituding menerima upeti setiap bulan.
MediaCerdasBangsa.Com (Gorontalo) DESA yang selama kurang lebih lima tahun dipimpin oleh Ruslan Tomelo itu, kini telah berubah menjadi sarang debu dan asap tebal dari cerobong asap Perusahaan Listrik Tenaga Uap (PLTU). Suasana itu yang kini menjadi persoalan tersendiri yang dirasakan oleh warga setempat. Ironisnya, sang Kepala Desa diduga menerima “upeti” sebagai “uang pengamanan” sebesar Rp. 10 Juta dari manajemen perusahaan. “Kepala Desa menerima dana Rp. 10 Juta dari perusahaan setiap bulan,” tuduh seorang warga yang takut membeberkan namanya.
Walaupun dengan kondisi separah itu, warganya senantiasa menerima dengan alasan berdirinya perusahaan itu demi kepentingan masyarakat umum. Belum lagi janji-janji perusahaan yang turut memprioritaskan tenaga kerja lokal pada perusahaan yang menggunakan material batu bara untuk mengoperasikannya itu. “Tidak ada satupun kontribusi sebagai bukti janji pihak manajemen PLTU kepada desa ini,” tandas pria jebolan pendidikan D-3 Jurusan Pertanian itu kepada Wartawan MEDIA PUBLIK di ruang kerjanya belum lama ini.
Ruslan menuding, manajemen PLTU telah mengingkari janji-janjinya kepada warga di desanya. “Pemasangan listrik gratis bagi warga setempat hingga saat ini juga tidak kunjung dipenuhi,” ujarnya. Kehadiran perusahaan besar di desanya, ungkap Ruslan idealnya harus memberikan dampak positif bagi warganya. Namun, justru sebaliknya yang terjadi. ”Hampir setiap saat rakyat saya makan debu, dan menghirup polusi asap dari cerobong perusahaan, sementara perusahaan tidak ada kepeduliannya kepada rakyat saya,” keluh Ruslan.
Ditanya soal dugaan dirinya menerima dana sebesar Rp. 10 Juta setiap bulan dari perusahaan, Ruslan membantahnya dengan keras dan tegas. Namun, Ruslan membeberkan bahwa dirinya telah mengetahui pemberi informasi kepada wartawan.
Menurutnya uang yang diterima bukan berasal dari PLTU tapi dari kapal yang menyuplay batu bara dan itu diperuntukkan bagi pembangunan mesjid. Tapi, nilainya tidak sebesar yang diisukan. Selama 5 tahun menjabat sebagai kepala desa, nanti saat ini saya diisukan terima suap. Ruslan bahkan membeberkan tidak adanya sumbangsih PLTU kepada desanya. Ia menilai, Manajemen PLTU sangat pelit dalam membantu desa tersebut.
Kondisi yang sangat memprihatinkan yakni saat musim angin timur dan saat berganti musim barat. Deretan rumah milik warga di bagian selatan jadi langganan debu polusi batubara. “Walaupun pintu dan jendela ditutup rapat, polusi dan debu tetap saja masuk ke dalam rumah. Itu terjadi saat musim angin barat. Dan saat musim angin timur, giliran rumah warga yang dibagian utara kembali dihujani debu. Siang hingga malam debunya menyebar ke berbagai tempat,” timpal warga setempat.
Akibat tebaran debu yang mereda nanti pada dinihari menjelang subuh, memasak, mencuci dan menjemur pakaian pun hanya dapat dilakukan pada malam hari. Keluhan polusi debu batubara sudah sejak lama dikeluhkan warga, terutama pada saat batubara itu hendak diangkut dari tongkang ke daratan. Debunya menebar kemana-mana.
Data yang berhasil diperoleh wartawan menyebutkan, menyebutkan sedikitnya 758 jiwa atau 205 kepala keluarga di desa itu yang terdampak polusi debu batu bara. Selain itu, polusi juga berdampak pada warga di tiga desa lainnya, yakni Molotabu, Modelomo dan Oluhuta. ##MCB08
