MCB.Com (Gorontalo) – Selentingan cemoohan diarahkan kepadanya. Ia dituding tidak tau bicara, dianggap tak layak menjadi anggota legislative—penyambung suara rakyat. Mendengar cemoohan tersebut, ia hanya tersenyum, walau hatinya dongkol.
Itulah sosok Alwi Podungge. Ia selalu mengedepankan kesederhanaan dalam hidupnya. Tak peduli apa kata orang tentang dirinya. Alwi tetap bekerja dan membangun jaringan dengan para petani. Ia ingin merubah mindset para petani. Petani bukan pekerjaan yang hina
Memang, petani identik dengan rumput dan kotoran. Bagi Alwi, petani adalah sebuah pekerjaan mulia yang harus dinikmati, ditekuni dan dibadani, sehingga akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Entah bagi diri petani itu sendiri, maupun untuk bangsa dan negara.
Memilih menjadi petani karena garis keturunan. Ayahnya seorang petani. Ia terpanggil untuk meneruskan cita-cita orangtuanya sebagai petani. Dan itu pesan ayahnya.
Apa pesan terakhir ayahnya sebelum meninggal? “Apa yang telah saya berikan padamu, berbuatlah yang baik. Usaha ini kamu jaga. Kamu harus netral, transparan, terbuka, komunikasi, supaya hubungan dengan adik-adik langgeng,” jawabnya mengutip kata-kata ayahnya.
Orangtuanya dari keluarga yang miskin. Ayahnya tidak lulus SD—hanya sampai kelas IV SD. Membaca susah, kemampuan ayahnya di bawah rata-rata. Tapi ayahnya memiliki semangat juang yang menjadikan dia seorang yang pantang menyerah.
Ayahnya adalah pekerja keras. Dia tidak mau nasibnya yang susah itu dialami oleh anak-anaknya. Dia berusaha untuk meraih semua untuk anak-anaknya. “Saya bangga punya orangtua seperti itu, tanpa pamrih membesarkan anak-anak dengan sederhana dan apa adanya,” tutur Alwi.
Sebagai anak pertama, Alwi sangat merasakan susahnya kehidupan orangtuanya pada waktu itu. Jatuh bangun, pernah mengalami kebangkrutan, hutang sana sini, kemudian dia bangkit kembali, itu yang membuat ayahnya bersemangat. Ayahnya seorang petani ulung. Alwi mengaku belum menemui orang seperti ayahnya di Gorontalo. Sebagai pewaris usaha orangtuanya, ayahnya berpesan agar menjaga dan mengembangkan usaha tersebut.
“Ayah saya menyuruh anak-anaknya untuk berjiwa sosial, hidup sederhana, apa adanya, tidak memaksa, tidak harus glamour, menjalani hidup sesuai dengan kapasitas,” ungkapnya.
Berasal dari keluarga sederhana, ia selalu tampil apa adanya, tanpa dibuat-buat, tidak membuat sekat, bisa bergaul dengan siapapun. Hal ini menjadikan Alwi selalu dekat dengan masyarakat dengan berbagai strata social.
Motonya: “Tidak ada lawan yang abadi, yang ada hanyalah kawan sejati”. Kata dia, manusia itu berbeda, selalu ada perbedaan. Tapi hal itu tidak bisa memutuskan tali silahturrahmi. “Kita bisa tetap bersahabat,” ujarnya.
Alwi memiliki ide dan gagasan menggerakkan para petani. Ia berhasil dengan konsep pertanian modern. Tak heran ia mendapat penghargaan sebagai petani terbaik di Provinsi Gorontalo mewakili Kabupaten Boalemo.
Pria berlatar belakang Sarjana Ekonomi ini dipercaya sebagai Ketua Brigade Petani Provinsi Gorontalo. Salah satu cita-citanya, ingin mengembalikan kejayaan Indonesia dibidang pertanian.
“Dengan bertani ada konsep hidup yang saya dapati; sederhana, apa adanya, dan tidak memaksa. Filosofi seperti itu yang bisa diambil,” tuturnya.
Kenapa anda tertarik terjun di dunia politik? “Karena anak petani ingin mengabdi. Kenapa orang lain bisa, anak petani juga pasti bisa,” kilahnya.
Ia selalu mengingat nasihat ibunya. “Jaga nama baik keluarga. Ayahmu disegenai di lingkungan keluarga. Jangan melukai orang lain,” kata Alwi mengutip nasehat ibunya.
Bagaimana menurut ibu ketika menjadi caleg? Menurut Alwi, ibunya kurang setuju. Pasalnya, ibunya mengganggap politik itu kotor, banyak resikonya. Yang benar bisa jadi salah, sementara ayahnya orang baik. Itu yang membuat ibunya kurang setuju.
Kecemasan dan kekhawatiran ibunya tentang politik, sangat dimakluminya. Namun ia berusaha meyakinkan ibunya, bahwa politik itu amanah, pengabdian, ketulusan. “Kalau kita punya niat baik, Insya Allah hasilnyapun baik,” katanya meyakinkan ibunya.
Di politik kata Alwi, ia ingin berbagi, mengabdi, dan berbuat sesuatu yang membuatnya dikenang. “Bukan saja di pertanian, di politik juga, dengan kesantunan dan kesedehanaan,” terangnya.
Meski ayahnya dikenal sebagai orang dermawan, Alwi tidak menjual figure ayahnya. Namun masyarakat sudah tau siapa ayahnya, tanpa ia sibuk memperkenalkan sosok ayahnya yang dermawan.
“Kedermawanan dan kegiatan sosial ayah saya menurun pada saya. Dan itu bukan saya lakukan ketika saya caleg. Itu sudah mendarah daging pada saya turun menurun,” terangnya.
Politik menurut anda apa? “Dulu, politik itu bertengkar karena argument. Kalau sekarang, bertengkar karena sentiment,” tandasnya.***
