Oleh: Syam Rizal Abbas
Adalah kita: Manusia, bahasa dan “batok kepala” -yang kebetulan- senang meraba, menata, membantah, hingga meletupkan bait-bait kata. Adakala lewat bicara, namun acapkali hanya benam lewat tatap mata.
Sesekali, kita menyerah pada reduksi-reduksi buta mereka — mengkerdilkan pemaknaan-pemaknaan: antara manusia, jagat raya dan dewata.
Kita diseret dalam penafsiran-penafsiran sempit, kolot dan memaksa!
Bejat sudah mereka!
*******
Sastra adalah manifestasi dari rasa dan imaji manusia yg dicecap lewat realitas. Ia mengejawantah lewat berbagai karya– tergantung cara mereka mencipta dan ‘mengimaninya’.
Adalah puisi: salah satu Karya sastra. Ia menjadi ruang artikulatif bagi sastrawan untuk memberi ‘nilai’ dan ‘symbol’ terhadap pelbagai hal yg membekap akal dan nuraninya.
Lewat pemilihan diksi yg ‘ciamik’, terkadang puisi kan menjadi pendedah kesadaran kolektif kita, tuk sekadar mengurai realitas dengan embel-embel metaforanya.
Indikator keberhasilan suatu puisi dilihat dari seberapa besar ia menyimpang-nyimpangkan, menata-ulang, mengacak-acak, memparodikan, melebih-lebihkan sesuatu yang tengah faktual, untuk kemudian menawarkan hal yang ‘baru’ — “puncak yang baru”.
Puisi selalu bergerak di batas-batas tata symbolik. Ia mematung dalam bahasa. Tetapi, ia tak harus sepenuhnya di sana, dan ‘haram’ jika harus betah di sana.
Itu sebabnya, Goenawan Mohamad menyebut puisi sebagai antitesis bagi “kediaman”.
Ini juga yg menjadi asbab lahirnya sastrawan cum kritikus, yg tempo hari menggunakan puisi sebagai alat kritik penguasa sekaligus moncong senjata, dan dengan peluru ‘kata-kata’ memberondong status quo milik rezim penguasa. Meski setelahnya, ‘kata-kata’ itu harus dibarter dengan jasad yang bersimbah darah.
Tak hanya itu, puisi pun menjadi salah satu ruang instrumental tuk menggambarkan sebuah roman dua manusia mabuk kepayang karena asmara. Dalam konteks ini, tak jarang puisi menjadi candu dengan efek ‘baper’ maha dahsyat bagi para pecinta, hingga sang pemilik ruang kesenduan (tuna-cinta) –tuk tidak menyebutnya sebagai: jomblo setia.
Baru-baru ini, ”Ibu indonesia” — puisi yg agak ‘nakal’ oleh putri mendiang presiden pertama kita — seolah telah meletupkan polemik di mana-mana. Seketika, dengan dalih membela keyakinan tertentu, syndrome “nyinyir-isme” tlah mewabah hingga pojok-pojok desa, yg bahkan tak pernah tersentuh ‘cahaya’ pemerintah.
Kecaman, kutukan, hingga laporan ke pihak berwajib seliwer di mana-mana. Puisi tersebut ‘dihakimi’ secara massal: dibogem, ditimpuk, dibantai, hingga dipancung lewat kata-kata. Memang semestinya: Kata-kata harus ‘dihabisi’ oleh kata-kata. Bukan oleh timah dari moncong senjata seperti rezim Orba.
Namun hadir pertanyaan atas itu semua –setelah pembantaian atas “kata-kata” –.
Dewasa ini, mengapa yang ‘dibantai’ hanya karya satra Sukmawaty saja?
Bukannya banyak karya sastrawan yg nakal juga?
Atau jangan-jangan, adakah yg tersembunyi di balik ikhtiar mereka?
Banyak karya sastra milik sastrawan yg juga menggunakan narasi dan diksi yang sangat-sangat ‘nakal’ bin radikal tuk menghantam nilai-nilai keyakinan tertentu. Sebut saja: novel “Eks Parasit Lajang”, karya sastra milik Ayu Utami, sastrawan/novelis sekaligus tokoh feminisme indonesia.
Ia dengan gagah dan heroiknya ‘mencoret’ tata nilai tentang pentingnya menjaga ‘selaput dara’ milik kaum wanita dari hidupnya. Atau bahkan, menyebut ‘tarung alat kelamin’ antara manusia yg berlainan jenis adalah bentuk kelaziman, asalkan dalam hubungan yang bertanggung-jawab dan terbatas. Bukankah ini bahagian dari narasi tuk mendesak nilai-nilai luhur dalam keyakinan hingga kepinggiran?
Mengapa ini tak kita ‘aniaya’ lewat kata juga?
Bahkan, jika kita flashback ke masa lalu. Bukankah kita kan mendapati karya sastra yg teramat ‘mengerikan’ milik Nietzche, Sastrawan cum filsuf, yg mengklaim diri tlah ‘membunuh tuhan’ dalam karya sastra “Zarathustra” nya.
Bukankah ini menebas keyakinan kolektif kita secara membabi-buta?
Mengapa tak kita tebas juga lewat ‘kata-kata’?
Atau paling tidak, kita mempelopori kumandang agitatif untuk seluruh kaum Theisme: semacam ”Gerakan Tolak Nietzche Masuk Surga”.
Tapi sudahlah!
Mungkin memang sudah karakter (bangsa?) kita, yg hanya ingin ‘datang’ dan bergerak jika ada maunya. Atau (mungkin) hanya mau berjuang dengan berbagai ‘hidden agenda’ kelompok tertentu semata.
Dan bak perjalanan Odysseus yg termashur dalam dongeng Yunani, bangsa kita sebenarnya bukan sedang dalam keadaan ‘pergi’. Tapi, dalam sebuah perjalanan pulang. Meratap, merangkak, dalam ‘kediaman’ dan ketiadaan….
*************
Cat: Kami adalah pegiat “kata-kata”, serta kan selalu hidup dan melawan lewat “kata-kata”.
Teruslah merdeka dan abadi duhai “kata-kata”!!!
