MCB.Com (Kota Gorontalo) – Sudah dua kali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung di Kota Gorontalo selalu ‘makan korban’. Tahun 2008 adalah kali pertama diselenggarakannya pilkada langsung, dan pasangan AW Thalib-Yani Suratinoyo (Wahyu) akhirnya dicoret oleh KPU Kota Gorontalo karena tidak memenuhi syarat.
Pasangan AW Thalib-Yani Suratinoyo diusung PPP dan PKB. PPP kala itu memiliki 3 kursi di DPRD Kota Gorontalo, sedangkan PKB memiliki 1 kursi. Walau AW Thalib-Yani Suratinoyo hanya diusung oleh dua partai, tapi hasil persentasi perolehan jumlah suara 2 partai tersebut telah memenuhi syarat pencalonan.
Pasal 59 Ayat (2) UU RI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 belas persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
Namun dalam keputusannya KPUD Kota Gorontalo Nomor 49/2008, menetapkan 2 pasangan calon, yakni: Adhan Dambea-Feriyanto Mayulu (Damay) dengan nomor urut 1 yang diusung oleh Partai Golkar, PBB, dan PDI-P. Sedangkan nomor urut 2 adalah Zulkarnain Dunda-Ridwan Podungge (Kawan) yang diusung oleh PBR, PAN, dan PDK.
Sementara pasangan AW Thalib-Yani Suratinoyo (Wahyu) dicoret KPUD Kota Gorontalo lantaran salah satu partai pengusung (PPP) dinyatakan tidak memenuhi syarat. Pasalnya, saat itu PPP sebagai salah satu partai pengusung hanya ditanda tangani oleh pengurus caretaker. KPUD menyatakan tidak memenuhi syarat dan dinilai bertentangan dengan Undang-undang.
Pencoretan pasangan AW Thalib-Yani Suratinoyo mengundang protes dan gelombang demostran besar-besaran. Banyak yang jadi korban. Bahkan salah satu pendukung fanatik “Wahyu” sempat tertembak di area Kantor KPUD Kota Gorontalo.
Berbagai usaha untuk menyelamatkan pasangan “Wahyu” untuk menjadi kontestan pilkada gagal. Komunikasi dengan pihak Komisioner KPU Pusat pun kandas—tak berhasil. Akhirnya, hanya linangan air mata dan tetesan darah yang mengantarkan kegagalan pasangan AW Thalib-Yani Suratinoyo.
Demikian halnya peristiwa tahun 2013. Pasangan Adhan Dambea-Indrawanto Hasan (Da’i) dicoret oleh KPUD Kota Gorontalo. Namun kasusnya berbeda. Bakal calon walikota incumbent tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat. Panwaslu Kota Gorontalo merekomendasikan bahwa Adhan Dambea tidak memenuhi syarat terkait ijazahnya.
Ijazah Adhan Dambea dinyatakakan hilang dan diganti dengan Surat Keterangan Tamat (SKT) dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gorontalo. Namun dalam Peraturan KPU pasal 16 Ayat 1,2, dan 3, jika ijazah hilang, maka calon wajib memasukkan Surat Keterangan Pengganti Ijazah dari sekolah tempat yang bersangkutan tamat.
Para pendukung fanatik pasangan “Da’i” pun melakukan unjuk rasa mendesak Panwaslu Kota Gorontalo yang dipimpim Rauf Ali agar menarik rekomendasi terkait ijazah Adhan Dambea yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Para demonstran menilai bahwa SKT yang dikeluarkan Diknas Kabupaten Gorontalo sah dan memenuhi syarat.
Walau rekomendasi panwaslu tersebut tidak ditarik, namun KPUD Kota Gorontalo yang dipimpim Rizan Adam tetap bersikukuh menetapkan pasangan “Da’i”. Akhirnya, Keputusan KPUD meloloskan Adhan Dambea diadukan oleh panwaslu dan sejumlah LSM ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
DKPP yang dipimpin Ketua Majelis Jimly Assidiqie dalam persidangannya menyimpulkan bahwa berdasarkan fakta persidangan ketua dan dua anggota KPUD Kota Gorontalo (Rizan Adam, Hadi Sutrisno Daud, dan Djarnawi Datau) telah terbukti tidak profesional, tidak netral, dan tidak berpegang pada hukum, serta memihak pada salah satu bakal calon.
Bakal calon Walikota Gorontalo Adhan Dambea dinyatakan tidak memenuhi syarat karena Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI), tidak sesuai ketentuan peraturan KPU No 9 Tahun 2012. Akibatnya tiga Komisioner KPUD Kota Gorontalo tersebut dipecat. Sementara La Aba dan Aroman Bobihoe dinyatakan tidak melanggar norma kode etik.
Gusnar Ismail dan Marten Taha silaturrahim momen Hari Raya Idul Fitri
Kini Kota Gorontalo akan menghadapi pilkada langsung kali ketiga–tahun 2018. Sejumlah obrolan yang dihimpun MCB.Com mengkhawatirkan akan terulang kembali peristiwa yang telah terjadi dua periode lalu. Tahun 2008 pasangan calon AW Thalib-Yani Suratinoyo (Wahyu) kalah sebelum bertanding, demikian pula tahun 2013 Adhan Dambea-Indrawanto Hasan (Da’i).
Nah, menurut Rasyid, Marten Taha (MT) harus berkaca dari pengalaman tersebut. Golkar belum bisa atau tidak memenuhi syarat mengusung pasangan calon. Partai Golkar dan MT segera melakukan langkah-langkah untuk berkoalisi atau jalur independen. Jika tidak, MT akan mengalami hal yang sama—kalah sebelum bertanding.
Namun salah satu pendukung berat MT ini mengapresiasi komunikasi antara MT dan Gusnar Ismail—yang nota benenya sebagai Ketua Partai Demokrat Provinsi Gorontalo. Tampak keduanya semakin akrab. Moment hari raya Idul Fitri ini digunakan MT bersilaturrahim ke kediaman Gusnar Ismail. Demikian pula sebaliknya, Gusnar datang pada acara open house yang diselenggarakan di kediaman pribadi MT.
“Insya Allah, moment hari raya ini menjadi awal komunikasi Pak Gusnar dan Pak Marten. Asumsi saya, Demokrat akan berkoalisi dengan Golkar, seperti pada pilgub kemarin. Nanti kita lihat saja,” tandas Rasyid.** (01/02)
