MCB.COM (Gorontalo) – Agama manapun melarang pernikahan dilakukan bagi kakak beradik—saudara sekandung. Demikian juga dengan peraturan dan hukum positif yang berlaku di negeri ini, melarang pernikahan itu, sebab dinilai perbuatan haram dan keji. Namun, kenapa di sebuah desa terisolir di Kabupaten Boalemo, pernikahan itu malah legal?
Anehnya lagi, pernikahan seperti itu bukan hanya berlaku bagi saudara sekandung, tapi ibunya pun bisa menikah dengan anak lelakinya, demikian pula dengan ayahnya bisa menikah dengan anak perempuannya.
Meski terdengar aneh, namun pernikahan saudara sedarah bagi suku Polahi adalah hal yang wajar. “Tidak ada pilihan lain. Kalau di kampung banyak orang, di sini hanya kami. Jadi kawin saja dengan saudara,” ujar salah satu perempuan suku Polahi, Mama Tanio yang dikutip MCB.COM melalui Kompas.Com.
Suku Polahi sendiri adalah suku yang masih hidup di pedalaman hutan Gorontalo dengan beberapa kebiasaan yang primitif. Mereka tidak mengenal pendidikan dan agama, mereka juga tidak berosialisasi dengan warga yang lain.
Selain itu, mereka juga menjadi suku yang tidak hidup menetap, melainkan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kepala Suku Polahi—Baba Manio Ang, kini telah memiliki istri Mama Tanio dan Hasimah.
Baca juga : Gema Perdamaian 2016
Dari kedua istri tersebut ia mempunyai dua anak, Babuta dan Laiya. Babuba adalah anak Manio yang kini mewarisi kepemimpinannya. Ia dihasilkan dari hubungan Manio bersama adik kandungnya sendiri, Hasimah. Anak-anak dari Babuta dan Laiya telah dinikahkan.
Suku Polahi sadalah suku terasing yang masih hidup di pedalaman hutan Gorontalo dengan beberapa kebiasaan yang primitif. Mereka tidak mengenal pendidikan dan agama, mereka juga tidak berosialisasi dengan warga yang lain. Keberadaan mereka terdata berada di sekitar Gunung Boliyohuto, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.
Puluhan tahun lalu, keberadaan Polahi masih merupakan cerita mistis yang penuh misteri. Paling banyak cerita mengenai suku ini datang dari para pencari rotan yang mengambil rotan di Pengunungan Boliyohuto.
Dulu, polahi tidak mengenal pakaian. Mereka hanya mengenakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau daun woka untuk menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, bagian dada dibiarkan telanjang, termasuk para wanitanya. Tapi sekarang Polahi yang berada di Paguyaman dan sekitarnya sudah tahu berpakaian. Mereka sudah berpakaian layaknya warga lokal lainnya.
Polahi dianggap mempunyai ilmu kesaktian bisa menghilang dari pandangan orang. Mereka dipercaya punya kemampuan berjalan dengan sangat cepat, dan mampu hidup di tengah hutan belantara. Konon, ketika bertemu dengan Polahi primitif tersebut, mata harus diusap dengan sejenis daun dulu baru bisa melihat Polahi.
Kini, walau belum menghafal sistem penanggalan modern dengan benar, Polahi di Hutan Humohulo setiap pekan turun ke pasar desa untuk menjual hasil kebun mereka dan berbelanja kebutuhan hidup mereka. Bahkan, para Polahi kini menawarkan jasa sebagai buruh angkut barang para penambang yang melewati permukiman mereka.
Baca juga : Calon Kepala Daerah Terpidana Percobaan Digugat Uji Materiil
Setidaknya, Polahi kini sudah mengenal nilai tukar uang. Bahkan. anak-anak Polahi yang sudah dewasa kini sudah mahir menggunakan telepon seluler untuk komunikasi dengan warga lainnya. Kondisi ini mengindikasikan sebenarnya Polahi bisa membuka diri dari sentuhan peradaban sosial.
Pendekatan pemerintah Boalemo untuk membuat mereka mengenal agama dan pendidikan memerlukan kajian yang tepat agar penanganan kehidupan sosial mereka tepat sasaran
Bahkan pemerintah pernah menyediakan mereka lokasi Rumah Layak Huni (Mahayani) di Desa Bina Jaya dengan membangun sembilan rumah untuk mereka huni. Namun, Polahi lebih memilih kembali ke hutan. Mereka tahan tinggal di kampung, sebab polahi merasa panas sekali, dan alasan mereka, jika dikampung tidak bisa berkebun.
Kebiasaan primitif yang hingga kini masih terus dipertahankan turunan Polahi adalah kawin dengan sesama saudara. Karena tidak mengenal agama dan pendidikan, anak seorang Polahi bisa kawin dengan ayahnya, ibu bisa kawin dengan anak lelakinya, serta adik kawin dengan kakaknya.
Menurut sejarah yang bisa ditelusuri, sejatinya suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada waktu penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan. Pemimpin mereka waktu itu tidak mau ditindas oleh penjajah. Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang artinya “pelarian”.*** (MCB. Sumber: Kompas.com) [post-views]
