Thariq Modanggu
Direktur Lingkar Studi Agama Budaya dan Demokrasi, L-SABDA
Siapa sih Jokowi? Siapa sih Prabowo?
Pertanyaan, tidak selalu soal jawaban. Pertanyaan juga tidak selamanya tentang definisi. Sesekali ia adalah soal selera saja, dan sesekali juga soal kepentingan kita atas pertanyaan itu. Bagi orang Gorontalo, bisa jadi pertanyaannya begini, so apa so te Jokowi? So apa so te Prabowo? Sekali lagi ini bukan soal jawaban, tetapi boleh jadi tentang selera, dan tentang kepentingan. Tentang apa yang kita nikmati dikala bertanya, tentang apa yang akan kita dapatkan dari bertanya maupun menjawab. Kasihan kan pak Jokowinya, kasihan pak Prabowonya. Begitu adanya atau tidak, menjadi sangat tergantung kepada selera dan kepentingan kita, kasihan kan. Tapi tak apalah, mungkin ini resiko ber-manusia. Maka jangan bilang ini hoax. Ini sisi lain dari begitu banyak sisi kehidupan,
Kebajikan versus keburukan?
Nah ini yang paling berat. Diskusi tentang kebajikan dan keburukan adalah sepasang tema yang paling krusial dalam dunia filsafat, setidaknya mulai 500 tahun sebelum Masehi. Tapi sudahlah, kita stop bicara filsafat walau sejatinya kita sedang berfilsafat. Begini, yang pasti Jokowi dan Prabowo sama sekali tidak identik dengan kebajikan versus keburukan. Yang pasti adalah “pada keduanya ada keduanya”. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan (al-Syams ayat 8). Pada diri Jokowo, diri Prabowo, dan diri kita semua hadir potensi kefasikan dan ketakwaan. Di sinilah selera dan kepentingan turut bermain mempengaruhi akal sehat yang menentukan kemenangan si fasik atau si takwa dalam diri kita. Maka jangan bilang ini provokasi apalagi penistaan, ini adalah sisi lain….
Nasib kebangsaan dan nasionalisme?
Kedua rasa, jiwa, ataupun spirit ber-Indonesia ini sejatinya tidak tergantung pada sosok Jokowi dan sosok Prabowo, atau siapapun! Kebangsaan dan Nasionalisme ber-Indonesia adalah perjumpaan harmonis dari kuasa Allah dengan akumulasi ikhtiar kebajikan pencinta negeri ini. Tetapi memang, karena Jokowi dan Prabowo berada di level (calon) Kepala Negara yang tanda tangannya sangat menentukan, maka gaya dan karakter keduanya pasti akan berpengaruh pada intensitas, warna dan sensitifitas dari jiwa serta spirit kebangsaan dan nasionalisme itu. Jadi bukan soal mati atau hidupnya kebangsaan dan nasionalisme. Bangsa ini sudah teruji bertahan hidup dalam badai semasa bayi apalagi mulai menanjak dewasa di usia 73 tahun ini.
Maka, berjuanglah secara wajar dan beradab wahai para pembela masing-masing. Pada kewajaran dan keadaban itulah nilai kebangsaan dan nasionalisme kita ditonton dan ditakar, bukan saja oleh publik tetapi juga oleh sejarah.
Jangan beri kesenangan kepada setan dengan pertikaian yang kita yang tidak pantas. Ayo kita bikin Langit tersenyum agar Ia menurunkan keberkahan untuk kita semua. Lalu siapa yang akan kita pilih, Jokowi atau Prabowo?, nantikan tulisan berikutnya, semoga.*****
