Culture

Kesadaran Akan Ruh, Awal Mengenal Allah

Ketika Manusia terlahir ke alam dunia, sampai saat ini menjadi manusia yang berakal, tidak sedikit bagi mereka itu yang terlena dengan kehidupan dunia dan berbagai macam kemegahan yang ada di dalam dunia. Sehingga begitu umur semakin bertambah maka semakin dirinya terdinding oleh keinginan-keinginan dan hasrat untuk menguasai dunia ini.

Tanpa disadari bahwa itu semua akan menjadikan ia semakin jauh dari kesadaran bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi dan melihat kepadanya. Tidak jarang bagi mereka yang terlena oleh keinginan-keinginan itu telah jatuh kepada perangkap “Hawa Nafsu”, dimana hal itu pada hakikatnya menjadikan ia orang-orang yang merugi.

Sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka-mereka yang terjebak oleh hawa nafsu tidak menyadari bahwa perbuatan-perbuatannya di dunia ini apapun yang di lakukan, apakah itu menyangkut urusan dunia maupun urusan amal ibadah yang katanya itu adalah urusan akhirat, maka itu bukan mengantarkan ia semakin dekat dengan Allah, malah menyebabkan ia semakin jauh dengan Allah.

Semua itu terjadi karena tidak adanya kesadaran pada dirinya tentang Pencipta Seru Sekalian Alam yaitu Allah SWT.

Begitu ditanyakan kepada mereka tentang Allah, spontan mereka mengatakan bahwa “Aku berbuat ini… dan itu…, semua karena Allah. Ibadah yang kulakuan ini pun semuanya karena Allah. Sholat ku, Puasaku, Zakat, dan Haji, semua kulakukan karena Allah semata.

Tidak jarang di antara mereka dengan bangga dirinya mengatakan bahwa aku adalah salah seorang diantara orang-orang yang dekat dengan Allah, karena aku ini sudah banyak sekali dalam hal ketaatanku beramal Ibadah baik yang wajib-wajib maupun yang sunah-sunah. Bukankah itu adalah suatu bukti bahwa aku termasuk orang yang dekat dengan Allah?

Ada lagi diantara mereka-mereka itu yang menjadikan Kitab Allah Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi sebagai bahan untuk tameng sebagai kebenaran untuk membenarkan apa-apa yang ia dapatkan dalam perjalanan ilmu yang telah ia kuasai dan ia pahami baik sewaktu di sekolah-sekolah umum, pesantren maupun padepokan-padepokan.

Ketahuilah…! Apa-apa yang dilakukan dari segi amal ibadah maupun penuntutan ilmu di sekolah-sekolah sampai kepada pesantren dan padepokan-padepokan dan juga hafalnya ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-hadits itu semua sangat…, sangat…, sangat…, baik sekali.

Akan tetapi yang perlu diketahui dan dimengerti adalah jangan sampai itu semua didasari oleh Hawa Nafsu. Jika perbuatan baik itu didasari oleh hawa nafsu maka tunggulah perselisihan dan pertengkaran akan semakin meluas serta tidak jarang perdebatan akan berujung pada hujat menghujat, cela mencela, caci mencaci, fitnah memfitnah.

Apakah itu bukan sesuatu yang membawa mudhorat? Dan sesuatu yang membawa mudhorat apakah si pelaku itu apa tidak berdosa?

Sungguh, hawa nafsu itu bukan hanya menipu seseorang kepada hal-hal yang bersifat duniawi saja, melainkan juga dari segi amal ibadah pun hawa nafsu bisa menjerat mereka-mereka yang taat dalam amal ibadah. Sehingga yang tadinya kita fikir kita sudah melakukan sebaik-baiknya dalam ketaatan amal ibadah ternyata dibalik itu ketaatan itu amal ibadah yang dilakukan itu semuanya tidak ada nilai positifnya di pandangan Allah.

Walau pada lisannya mengatakan Lillahi Ta’ala (Karena Allah Ta’ala)” tetapi pada kenyataannya apa-apa yang dilakukannya tadi dalam ketaatan amal ibadah bukan Lillahi Ta’ala (karena Allah Ta’ala)” melainkan Linnafsii (karena diriku)”.

Untuk itu, agar tidak terjebak oleh hawa nafsu (keinginan diri), maka sudah seharusnya mereka mengenal akan Allah dan menyadari bahwa tidak ada yang berlaku dalam urusan apapun melainkan itu semua karena Allah SWT semata-mata.

Sadarilah, bahwa kehidupan yang ada pada diri yang disebut dengan Ruh itu adalah saksi hidupnya Allah SWT, dengan menyadari kehidupan (Ruh) itu maka sama halnya kita menyadari bahwa Allah itu dekat dengan diri kita.

Apakah Ruh yang ada pada diri itu jauh? Apakah Ruh yang ada pada diri itu dari buka mata sampai tutup mata kembali ia meninggalkan diri kita? Ya…, ya…, sadarilah, bahwa Ruh itu selalu menyertai dimana kita berada kemanapun kita pergi, dimanapun kita bertempat.

Ruh itulah sebenarbenarnya diri kita yang bernama “Fulan”. Jika kita sudah menyadari bahwa diri kita adalah kehidupan itu sendiri yaitu Ruh, dan Ruh itu sebagai saksi hidup adanya Allah SWT, maka sadarilah, Ruh itu tidak jauh melainkan dekat. Itulah sebagai saksinya bahwa Allah itu sangat dekat dengan kehidupan kita. Rasakanlah, diri kita dan kenalilah bahwa diri kita itu adalah Ruh dan Ruh itu adalah saksi hidup Allah.

Kesimpulannya adalah, dengan merasakan bahwa Ruh itu sangat dekat maka sama halnya kita merasakan Allah itu sangat dekat. Dengan kita merasakan bahwa Ruh itu selalu menyertai diri kemana saja pergi maka sama halnya kita merasakan bahwa Allah senantiasa menyertai kita dimana kita berada. Sadarilah, dan Renungkanlah…!

Di dalam perjalanan Hakikat, “merasakan itu sama halnya dengan melihat, bukan dengan mata melainkan dengan Hati melalui rasa”. Jadi, dengan kita merasakan Ruh tadi, sama halnya kita melihat Allah bukan dengan mata, melainkan dengan hati melalui rasa.

Karenanya semua menunjukkan bahwa Allah itu sangatlah dekat sekali dengan diri kita. Tidak jauh dan tidak berjarak. Dan selalu serta kemana saja kita berada……”Wahuwa Ma’akum Ainama Kuntum” (Aku (Allah)serta kamu di manapun engkau berada).

Inilah dasar dari pada Ma’rifatullah, menyadari dan mengerti akan saksi Hidupnya Allah SWT yang meliputi atas tiap-tiap sesuatu juga pada diri sendiri. “Wa Fii Anfusikum Afa laa Tub’siruun” (dan juga pada dirimu sendiri kenapa engkau tidak memperhatikannya?)

Semoga dengan postingan yang sangat singkat ini bisa menjadi dasar bagi kita untuk merasakan kehadiran Allah pada diri kita yang menunjukkan bahwa Allah itu sekali-kali tidak lah jauh pada diri kita, kemanapun kita berada. Tanpa Allah diri kita tidak dapat berbuat apa-apa, ”Laa Tatakharroka illa bi’iznillah” (Tidak bergerak sekecil zarrah pun melainkan itu semua dengan Izin Allah).

Lalu, dimanakah amal yang kita bangga-banggakan itu…?

Dimanakah Ilmu yang kita agung-agungkan itu…?

Dimanakah pangkat kedudukan yang kita dewa-dewakan itu…?

Maka semuanya kembali hanya kepada Allah. Segala puji itu bago Allah seru sekalian alam.

Adapun kita ini hanyalah insan yang tiada daya tiada upaya lagi bodoh.

[Sumber: pengembarajiwa.wordpress.com]

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top