Hidup adalah perjalanan untuk menggapai cita-cita. Proses perjalanan hidup dihadapkan dengan berbagai macam halangan dan rintangan. Olehnya diperlukan ikhtiar untuk mencapai sebuah cita-cita tersebut. Namun ketika ikhtiar telah dilakukan, dan cita-cita itu tidak tercapai, maka Allah telah menentukan hal yang terbaik bagi hambanya.
Alkisah. Disuatu desa, sekolompok masyarakat mendapatkan seorang tokoh yang sangat peduli dengan kepentingan masyarakat. Waktu…, tenaga…, pikiran…, bahkan materi, ia gunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkannya.
Suatu ketika ia diminta untuk menjadi calon legislatif di daerahnya. Tadinya ia ragu, sebab untuk menjadi calon legislatif, dibutuhkan sejumlah uang sebagai kos politik.
Namun sekolompok masyarakat datang ke rumahnya dan tetap mendorong ia untuk maju sebagai calon legislatif. Beberapa perwakilan itu terdiri dari sejumlah anak muda dan orang tua. Nah.., dengan keyakinan, ia pun menyatakan “Bismillah” maju sebagai calon legislatif.
Ia menggunakan kenderaan sebuah partai politik yang cukup ternama. Ia ditempatkan sebagai calon nomor urut 2 dari 10 calon dari dapil tersebut.
Singkat cerita, waktu pemilihan legislatifpun tiba. Alhamdulillah ia beroleh suara terbanyak. Namun kala itu calon yang terpilih berdasarkan nomor urut—bukan suara terbanyak. Padahal, kesepakatan partai, yang bisa duduk adalah suara terbanyak. Sayangnya, kesepakatan itu diingkari oleh para calon legislatif dan pimpinan partai. Akhirnya, yang bisa duduk adalah calon nomor urut satu. Ia pun pasrah.
Suatu saat, sebelum penetapan calon terpilih oleh KPU, pimpinan partai tersebut telah membicarakan dengan Pantia Pemungutan Suara (PPK) kecamatan. Pimpinan partai ini berusaha melakukan komunikasi dengan PPK akan menggelembungkan suara. Konsekwensinya harus dibayar, yang penting partai itu bisa beroleh dua kursi.
Kemudian, komunikasi antara pimpinan partai dengan PPK tersebut disampaikan kepada calon yang memperoleh suara terbanyak ini. Apa jawab dia, “Jabatan yang diambil dengan cara yang tidak halal, maka semua yang dimakan dari cara yang tidak halal akan jadi haram dan menjadi darah daging. Toh jabatan ini hanyalah hiasan dunia, kelak akan dipertanggung jawabkan di Yaumul makhsyar nanti”.
Mendengar pernyataan tersebut, pimpinan partai itu seketika diam dan tidak lagi menindak lanjuti pembicaraan dengan PPK. Akhirnya, partai itu hanya beroleh satu kursi.
Lima tahun kemudian, ia masuk lagi sebagai calon legislatif. Hasil perolehan suara, ia kembali beroleh suara terbanyak. Namun apa yang terjadi lagi…? Ia pun harus kalah lantaran penguasa dan penyelenggara pemilu menggelembungkan suara calon lain. Kontan saja, ia dan pendukungnya kecewa berat.
Namun ia tetap bersabar. Ia berbesar hati menerima kenyataan itu walau terasa pahit. Ia bersabar…, ia tak bisa berkutik atas penzaliman yang dilakukan oleh penguasa dan penyelenggara pemilu.
Ia mengatakan, “Mungkin ini sudah menjadi keputusan Allah. Dan Mungkin ini yang terbaik. Mungkin Allah berkehendak lain atas keputusan-Nya”.
Semoga hal ini menjadi renungan bagi politisi, bahwa jabatan, pangkat, dan kedudukan hanyalah hiasan dunia. Jangan terbuai dengan hiasan dunia, sebab semua dekat dengan keserakahan, dan identik perbuatan setan. Kelak akan dipertanggung jawabkan di yaumul mahsyar nanti. (MCB.COM)
