Opini

Reinkarnasi GBHN (Jalan Kesesatan Politik Ketatanegaraan Indonesia)

Penulis :         

Rahmat Teguh Santoso Gobel

Alumnus PKPA UGM-PERADI 2016, Mahasiswa S2 FH UII Yogyakarta

Sikap Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) yang melakukan rapat gabungan kemarin (22/8) memberikan sinyal kuat bahwa gagasan amandemen UUD 1945 adalah hal yang diseriusi oleh pimpinan MPR, salah satunya mengaktifkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Meskipun jalur politik yang akan ditempuh belum diputuskan (amandemen UUD atau revisi UU), namun geliat sebagian besar fraksi di MPR nampaknya akan menempuh jalan amandemen UUD 1945. Tetapi dibalik gagasan ini terselip kisah pertarungan antara menghidupkan kembali GBHN dan mematikan sistem presidensial yang merupakan sistem yang telah disepakati dalam konsensus nasional pada saat amandemen UUD 1945 awal reformasi silam.

Eksistensi Haluan Indonesia

Penghapusan GBHN melalui Amandemen Ketiga UUD 1945 merupakan konsekuensi logis dari perubahan kewenangan MPR. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang manifesto politik RI sebagai Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara (Tap MPRS No I/MPRS/1966) dan serangkaian GBHN yang lahir semasa orde baru, produk hukum ini tidak mungkin dilepaskan dari posisi MPR dalam UUD 1945.

MPR bukanlah lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan sejajar dengan lembaga lainnya dalam teori trias politica (tiga poros kekuasaan), sehingga MPR tidak perlu lagi membuat GBHN yang akan dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan oleh Presiden.

Di zaman reformasi siapapun yang akan menjadi Presiden harus dan wajib memiliki visi-misi sendiri untuk merencanakan pembangunan nasional. Prosesnya pun tidak perlu lagi pertanggung jawaban kepada MPR. Pertanggung jawaban Presiden melalui pidato kenegaraan penyampaian hasil kinerja setiap tahun selama 5 kali dalam satu periode, yang kemudian akan dinilai oleh masyarakat secara komprehensif. Hasil akhir dari pertanggungjawaban itu akan terlihat pada pemilihan umum yang dilaksanakan 5 tahun sekali melalui jumlah suara yang didapatkan oleh partai pengusung presiden tersebut. Apabila partai politik pengusung mendapatkan jumlah suara terbanyak, maka otomatis kinerja Presiden dan Wakil Presiden dapat diterima dimasyarakat.

Berbeda dengan zaman orde baru, hegemoni kepemimpinan Soeharto sangat kuat karena partai yang dipimpinnya mampu merajut kekuatan di parlemen, akibatnya MPR mampu didikte meskipun roda pemerintahan melenceng dari GBHN. Pada zaman orde baru kekuatan partai golkar sangat mendominasi dalam pencaturan politik tanah air, sehingga GBHN terkesan berhasil, pembangunan pun dianggap searah dan seirama, padahal atmosfer kekuasaan orde baru sangat otoriter.

Dibandingkan dengan era reformasi bahwa sistem multipartai yang dianut oleh Indonesia membuka kemungkinan rotasi kepemimpinan secara cepat dan sangat sulit untuk menjamin bahwa ketika ada peralihan kepemimpinan selanjutnya akan tetap dipertahankan konsep GBHN yang sudah disepakati secara politik dan yuridis pada periode kepemimpian Presiden. Begitupun dengan komposisi kekuatan di MPR yang saat ini diungguli oleh Koalisi Indonesia Hebat, terdapat kecenderungan untuk memudahkan upaya mengaktifkan kembali GBHN melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945, namun ketika roda kekuatan pemerintahan dan parlemen berputar secara terus-menerus, lalu tiba-tiba pemerintah berada pada posisi kekuatan yang kontra-GBHN atau dengan kata lain MPR dikuasai oleh oposisi, pertanyaannya, apakah GBHN masih akan tetap bertahan pada posisi semula secara subtansial ? tentu tidak, setiap kepemimpinan pasti memiliki kehendak politik (political will) yang fluktuatif (berubah-ubah). Contoh kasus, era Presiden SBY lebih fokus pada percepatan pembangunan ekonomi yang dikenal sebagai MP3EI, namun diera Jokowi lebih mengedepankan pembangunan Indonesia pada konsep negara maritim. Kesenjangan paradigma pembangunan ini membuktikan bahwa penyatuan konsep pembangunan berjangka panjang dalam satu atap GBHN akan sulit tercapai. Hadirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah bentuk konversi dari GBHN. Subtansinya sama, yang berbeda hanyalah metode penyusunan, payung hukum, pertanggungjawaban dan namanya.

Sistem Presidensial

Jika dihubungkan dengan sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia saat ini, reaktivasi GBHN akan mengalami distorsi. Sebab, Presiden tidak bisa keluar dari haluan dan visi GBHN, sehingga Presiden jadi bekerja sesuai arahan GBHN. Celakanya tanggungjawab Presiden akan tertuju pada pembuat GBHN, sementara kepada masyarakat berkurang. Kreativitas pembanguanan ala Presiden akan disandra dan hak prerogatif Presiden pun mesti memperhatikan materi GBHN. Kesimpulannya, Presiden terkunci oleh batas-batas arena orientasi pembangunan yang termuat dalam GBHN. Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, namun hanya mengikuti arahan GBHN yang merupakan produk kristalisasi kompromi politik. Paradigma ini cenderung ambigu dan sesat, karena di Negara manapun Presiden yang dipilih langsung tidak bisa bertanggung jawab kepada MPR selaku pembuat GBHN.

Dalam laporan badan pengkajian MPR mengungkapkan sejumlah alternatif mekanisme sanksi kepada presiden jika dianggap tidak menaati haluan Negara yang sudah ditetapkan. Pertama, sidang MPR yang digelar atas usul DPR dapat meminta pertanggungjawaban kepada presiden. Alasannya, haluan Negara ialah produk hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR. Kedua, sanksi sosial dan politik. Presiden dan lembaga-lembaga Negara lainnya akan kehilangan legitimasi jika melanggar GBHN. Presiden dianggap tidak layak untuk dipilih kembali. Diharapkan mekanisme itu membentuk budaya malu. Ketiga, MPR dapat meminta DPR untuk menolak RAPBN yang diajukan presiden. Presiden dapat dipaksa membuat RAPBN yang sesuai dengan GBHN karena hal ini terkait dengan hak budgeting (anggaran) parlemen. Tentu ketiga hal ini sarat dengan kepentingan untuk mereduksi kekuatan presiden dalam bingkai sistem presidensial.

Alternatif tersebut jelas menggambarkan bahwa secara materil GBHN akan “memenjarakan” presiden lewat hadirnya sanksi sosial dan politik. Hal ini serta merta memperlemah sistem presidensial, sehingga demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan mengisyaratkan pergeseran sistem pemerintahan, dari sistem presidensial ke sistem parlementer. Konsekuensinya, peluang hidupnya kembali konsep lembaga tertinggi Negara pun akan muncul. Pada titik ini pun, pergeseran pemegang kedaulatan rakyat akan direbut secara perlahan oleh MPR, sehingga kekuatan MPR akan semakin melambung tinggi dengan lembaga lainnya karena disatu sisi pengawal komando kebijakan Presiden melalui instruksi GBHN dan disisi lain MPR dapat memegang kedaulatan rakyat secara otomatis layaknya rezim MPR pada orde baru. Padahal ini sangat kontraproduktif dengan konsensus reformasi yang meletakkan sistem presidensial sebagai jalan politik sistem pemerintahan Indonesia.

Sebaiknya, upaya untuk mengaktifkan kembali GBHN perlu dikaji lebih mendalam, jangan sampai logika mengaktifkan GBHN hanya berangkat dari kompromi politik semata. Pertarungan menghidupkan GBHN akan berimbas pada lembaga Negara yang membuatnya dan ancaman matinya sistem presidensial. Jelas implikasinya bervariasi, beberapa diantaranya adalah menata ulang posisi MPR yang cenderung menghadirkan nuansa parlementer dan pergumulan pemilu presiden Indonesia akan disulap kembali menjadi pemilihan secara mandataris oleh MPR. Indonesia telah gagal menjalankan sistem parlementer, jangan sampai kegagalan itu akan terulang kembali.

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

The Latest News

To Top