Karya-karya sastra merupakan sumber kebijaksanaan, nilai, pandangan hidup, dan hal-hal apa saja yang dinilai mutlak untuk diperjuangkan. Tulisan dari para pujangga tersebut menjadi alat untuk menyimpan nilai-nilai pokok pembentuk identitas suatu kultur tertentu. Dengan membaca karya-karya pujangga dari negeri kita sendiri, kita diajak untuk meresapi kembali berbagai pengalaman, perjumpaan, pertikaian antar “kebenaran” dari masing-masing kelompok. Cerita-cerita kepahlawanan biasanya menghadirkan deskripsi stereotipikal: ada dua kelompok yang saling berseberangan. Satu dari kelompok putih, dan yang lain dari kelompok hitam. Kelompok putih ditandai oleh nilai-nilai keluhuran atau keutamaan, seperti kesetia-kawanan, pengorbanan, pengelolaan diri, ketenteraman bagi lebih banyak warga, penyangkalan diri, dan mesu raga. Sebaliknya, kelompok hitam identik dengan serangkaian perilaku negatif: memberontak, merampok, memperkosa, memaksakan kehendak, saling memanfaatkan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya, mengingkari perjanjian, mengejar kehormatan semata, membiarkan diri dikuasai oleh nafsu-nafsu angkara murka, berkhianat dan berbagai ungkapan senada lainnya.
Di satu sisi, membaca karya-karya sastra tersebut membantu kita untuk bercermin. Sadar atau tidak, sebagai manusia yang memiliki kepekaan manusiawi, kita akan menanyakan pada diri kita sendiri, “Siapakah tokoh yang memiliki nilai-nilai kebajikan seperti yang saya yakini?” pertanyaan macam ini akan menggaung dalam angan, meninggalkan kesan yang kuat, dan sekaligus menegaskan identitas diri kita sebagai manusia yang beradab: manusia yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kebaikan bagi sesama. Namun, di lain pihak, membaca karya-karya sastra ini uga pada waktu yang sama membantu kita untuk memaknai bahwa suatu kebenaran sering bersifat temporal. Apa yang dinilai baik di suatu waktu tertentu di masa lalu bisa jadi tidak lagi relevan di masa kini. Ambil contoh tentang perubahan konsep profesi atau pekerjaan profesional.
Konsep pekerjaan atau profesi aslinya muncul seiring dengan peningkatan spesialisasi di dalam masyarakat yang lebih bervariasi. Berkembang jenis-jenis pekerjaan, jasa, dan produk yang khas dan hanya dikuasai oleh sejumlah orang tertentu. Spesialisasi dihargai sebagai sebuah kualitas khusus. Namun di dalam sebuah masyarakat tradisional yang lebih digerakkan oleh ekonomi lokal (self-sufficient), sebuah keterampilan atau kompetensi tertentu tidak ditujukan untuk semata-mata untuk mencapai agenda ekonomis yang berorientasi pada akuisisi keuntungan setinggi-tingginya. Dalam masyarakat macam ini, orang-orang saling mengenal satu sama lain. Sebuah karya atau produk dihasilkan lebih ditujukan untuk membentuk solidaritas untuk membantu sesama. Sebuah produk dinilai lebih dari segi ketulusan, nilainya diukur dari kebersihan hati untuk membantu dan melayani orang lain.
Perkembangan waktu membawa perubahan pola transportasi, dan semakin besarnya jangkauan pola ekonomi. Masyarakat menjadi semakin majemuk, sistem transportasi memungkinkan berbagai barang didistribusikan ke wilayah-wilayah yang lain. Berbagai kelompok masyarakat dari tempat-tempat yang berbeda semakin intensif berinteraksi. Uniknya, keluasan interaksi macam ini pada waktu yang sama justru menurunkan intensitas kedalaman hubungan personal. Semakin banyak mengenal orang, semakin berkurang kemampuan untuk menjalin relasi personal yang bermakna. Seiring dengan itu, spesialisasi dalam produk tidak hanya ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal saja. Pola relasi menjadi lebih kompleks. Hubungan yang makin luas justru menciptakan kerenggangan. Hubungan antara pembuat barang, distributor dan pemakai barang mengalami reduksi menjadi sekedar transaksional. Dalam situasi penuh impersonalitas (tidak saling kenal) ini, berkembang sistem ekonomi yang lebih mengedepankan keuntungan sebanyak-banyaknya. Itu lah ilustrasi tentang perubahan nilai-nilai kultural dan sosial.
Sikap kritis terhadap pola perubahan nilai sungguh mutlak dibutuhkan, tidak hanya sewaktu kita membaca karya-karya sastra, tetapi juga dalam interaksi sosial hari ini dengan sesama. Cerita heroisme Mahesa Jenar dalam Nagasasra dan Sabuk Inten karya S.H. Mintardja membantu saya untuk menyingkap nilai-nilai keluhuran budaya Jawa di masa lalu, yang dalam batas-batas tertentu justru layak dipersoalkan relevansinya di dalam kehidupan kita sekarang ini. Etnis Jawa yang menjadi mayoritas populasi dalam Republik Indonesia ini sudah selayaknya mampu mengritisi warisan kultural yang tersimpan dalam-dalam di benak (archetype) di dalam otak kita, pola relasi, cara pandang kita terhadap dunia, dan nilai-nilai apa saja yang dinilai baik.
Diceritakan bahwa Mahesa Jenar senantiasa berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa bangga atas perkembangan anak didiknya, Arya Salaka. Dalam berbagai kesempatan, Mahesa Jenar berkata dalam hati, memuji akan kemajuan yang sangat pesat dari anak didiknya ini. Anak muda yang terlunta-lunta akibat konflik politik di bumi kelahiran Banyu Biru menunjukkan kekuatan mental yang luar biasa kuat. Namun, berulang kali pula, Mahesa Jenar memupus keinginannya untuk mengungkapkan rasa bangga itu. Dia tidak akan pernah mau menunjukkan rasa bahagia secara terang-terangan. Sementara, Arya Salaka pun tidak akan kesulitan dalam memahami perasaan gurunya. Dia akan mudah “membaca” apakah sang guru itu sedih, bahagia, atau kecewa. Ungkapan suka atau duka, kecewa atau bahagia, jarang sekali disampaikan dalam kata-kata. Hanya simbol-simbol saja yang terlihat: gerak mata, gerak-gerik tubuh, tatapan mata, dan bahasa tubuh lainnya.
Gambaran model komunikasi minim kata-kata ini bisa jadi hanya rekaan dari S.H. Mintardja saja. Namun, dalam pengamatan saya, penggambaran yang mirip juga ditampilkan oleh para sastrawan beretnis Jawa lainnya. Rm. Mangunwijaya dengan trilogi Gendhuk Duku – Lusi Lindri-nya, Kresna Langit Hariadi dengan tetralogi Majapahitnya, dan Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkasnya. Tampaknya, pesannya jelas dan sederhana: kultur Jawa sangat kaya akan simbolisasi. Simbolisasi dalam komunikasi tersebut bukan persoalan yang serius, sejauh orang-orang yang terlibat di dalam komunikasi dan interaksi tersebut adalah orang-orang dengan kultur yang sama, usia yang tidak terlalu jauh berbeda, dibesarkan dalam lingkungan yang mirip, dan meyakini serangkaian kebenaran dengan cara yang relatif sama.
Di dalam konteks kultur Jawa, pengungkapan suatu perasaan senang atau susah, bahagia atau kecewa, sejauh mungkin diungkapkan melalui bahasa non-verbal. Orang-orrang dalam tradisi Jawa yang kuat akan sangat hemat kata-kata. Untuk “mengusir” tamu yang tidak segera pulang, cukup dengan “glothakan” (bunyi ribut) dari kegiatan mencuci piring. Penolakan atas suatu permintaan tidak akan terwujud dalam kata “TIDAK, saya tidak bisa”, tetapi justru dalam bahasa probabilitas “ya MUNGKIN bisa, kita lihat nanti.” Semuanya penuh simbolisasi. Bagi kelompok kultural yang lebih mengedepankan keterus-terangan, budaya Jawa yang penuh dengan “plinthat-plinthut” ini sungguh menjengkelkan. Bagi orang Jawa sendiri, keterampilan dalam menjaga harmoni dan menghindarkan diri dari konflik secara langsung merupakan sebuah nilai adiluhung.
Menurut hemat saya, kebijaksanaan model Jawa (dengan penuh simbolisasi) macam ini tampaknya tidak lagi relevan ketika ditempatkan dalam pola interaksi nasional. Pola komunikasi penuh simbolisasi makna mencerminkan logika “main asumsi” yang bisa melukai relasi. Asumsinya adalah: bahwa orang-orang lain dari kultur non-Jawa harusnya belajar untuk menguasai gaya komunikasi orang Jawa. Pola komunikasi macam ini juga pada waktu yang sama merupakan sebuah sarana untuk represi kebenaran kultural yang lain. Orang dari budaya lain yang cenderung berterus-terang akan dinilai “srogal-srogol” tidak tahu aturan. Di sinilah posisi kritis kultur Jawa yang menciptakan peluang adanya friksi.(Sumber : Kompasiana)