Oleh : Tarmizi Abbas
(Mahasiswa Sarjana, Study Manajemen Pendidikan Islam, IAIN Sultan Amai, Gorontalo)
Setelah melewati polemik pilpres yang cukup panjang, akhirnya, Donal Trump mengokohkan posisinya sebagai Presiden Amerika ke-45 tepat pada tanggal 8 November 2016, atas Hillary Clinton dengan posisi suara elektoral 270 : 228. Walaupun masih ada 20 suara elektoral yang tersisa, namun, bisa dipastikan bahwa; Hillary tidak bisa menjangkau Trump tentunya. Apalagi, pemilu 2016 kali ini, Partai Republik sukses menang di Florida—satu-satunya tempat dengan elektoral vote terbesar, yakni 29 pemilih, menyusul Pennsylvania (20), Ohio (18), Georgia (16), Michigan (16), North Carolina (15), Virginia (13), dan Arizona (11).
Sehari setelah pengumuman, tepat pada tanggal 9 November 2016; media cetak dan berbagai surat kabar di seluruh dunia dibanjiri dengan kemenangan Trump ‘yang tak diduga-duga’. Namun, satu hal yang menarik perhatian adalah: dibalik euforia kemenangan tersebut, mengapa selalu saja ada beberapa kata yang menyentil atau mengait-ngaitkannya dengan Islam, baik sebelum atau sesudah ia terpilih sebagai Presiden.
Adalah Samantha Schmidt misalnya, dalam New York Times (26 Oktober 2016) Samantha menulis “‘I Had a Scary Dream About Donald Trump’: Muslim Parents Face a Tense Election”. Sebuah tulisan yang mengilustrasikan ketakutan Abubeckr Elcharfa (13) dan Maaria (7), dua orang anak kecil dari kalangan umat Islam di Amerika yang ketakutan diperhadapkan dengan “rezim” Trump. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wejahat Ali, dalam tajuk yang berjudul “Muslim in Trump’s America”, melalui New York Time’s edisi (9 November 2016), ia mengemukakan hal-hal yang akan terjadi dengan umat Muslim di Amerika jika Trump terpilih sebagai Presiden, salah satunya adalah ‘ketidakadilan’.
Media-media besar di tanah air juga tak kalah menarik memberitakan hal serupa. Tempo misalnya yang menulis: “Trump Presiden AS, MUI: Bisa Berdampak Buruk terhadap Islam”, disusul Kompas: “Trump Menang, Din Syamsuddin Cemaskan Ketegangan Islam-AS Meningkat”, dan CNN Indonesia: “Donald Trump Masalah Baru Dunia Islam.” Keseluruhan opini yang di giring ke public, sebenarnya merupakan bias yang di ciptakan Trump pada orasinya 8 Desember 2015, yang menyudutkan bahkan menolak Muslim masuk ke Amerika.
Lantas, ada apa dengan umat Muslim ? mengapa Trump terlihat begitu cemas dengan Islam ?
Islam dan Barat
Kebencian Trump terhadap umat Islam sebenarnya bukanlah temuan baru. Jauh sebelum Trump, bahkan beberapa tokoh seperti Marin Le Pen (Front Nasionalis Perancis), Terry Jones (Pendeta asal Florida), Geert Wilders (Parlemen Belanda), hingga Ben Carson, calon Presiden Amerika (Fox News, Senin (21/9/2015) menyatakannya, term-term pahit yang memberitakan “Islam itu berbahaya” sudah ada sejak dulu. Namun, dikemas dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari budaya, psikologis, dan keadaan politik.
Ikhwal kebencian ini, tentu saja tidak lepas dari perebutan kekuasaan, perkembangan ilmu pengetahuan, struktur psikologis, dan yang paling kronis adalah: konflik-konflik keagamaan yang meletup sebelum peradaban Islam collapse di abad ke-15—akibat perang Salib (Paus Urbanus II pada tahun 1095) dan invasi Mongolia ke Baghdad di tahun 1258. Berdasarkan hal tersebut, Norman Daniel dalam The Arabs and Medieval Europe (1899) kemudian menyatakan, bahwa : selama hampir sepanjang abad pertengahan, dan selama awal Renaisans di Eropa, Islam di tuduh lalu dipercaya sebagai agama yang kejam, ingkar, busuk dan kabur.
Namun, anehnya, berbagai peristiwa yang terlihat menekan dan menjatuhkan Islam, sebaliknya justru menghantarkannya pada sebuah kekuatan yang diperhitungkan. Tanpa apologi, Edward Said dalam Covering Islam, menyatakan : siapapun akan malu untuk menepis kebenaran, bahwa selama ratusan tahun, Islam pernah mengancam Barat, menghancurkan pos-pos terdepannya, dan menduduki wilayahnya. Bahkan, ketika Islam di Timur mengalami kemunduran dan Barat mengalami kemajuan, mereka (Barat) tetap mengalami ketakutan yang sama, yakni kebangkitan imperium Islam.
Sebab itu, pidato Trump yang dinilai telah menyudutkan umat Islam pada tanggal 5 Desember 2016, sebenarnya tidak lain merupakan sebuah bentuk reinkarnasi dari ketakutan Barat atas revolusi Islam di Iran yang pernah terjadi pada Januari 1978. Trump sedang mencemaskan hal tersebut agar tidak terjadi lagi. Apalagi setelah dunia dihentakkan dengan berita : populasi umat Islam di Barat satu dekade setelah peristiwa 9/11, justru semakin hari semakin meningkat.
Iran adalah satu-satunya negara yang memainkan peran signifikan terhadap Amerika. Januari 1978 – Februari 1979, adalah tahun-tahun dimana kita semua bisa melihat Amerika lumpuh dan tak berdaya, memaksakan dirinya untuk menghentikan peristiwa dramatik di Iran yang tumpang-tindih. Amerika tidak bisa lari dan membiarkan Iran tetap konsisten dengan revolusinya, disaat mereka sedang mengalami kelangkaan energy; sementara Iran merupakan negara pemasok minyak terbesar dikala itu.
Selain itu, ketika apa yang disampaikan oleh Trump kepada publik terkait pelarangan umat Islam untuk masuk ke Amerika benar-benar di rasionalisasikan, maka tidak menutup kemungkinan, bahwa : Trump sama saja menghancurkan hubungan mesra nan diplomatis, yang telah lama dirajut Arab—Amerika, di era Presiden Franklin Delano Roosevelt dan Raja Ibnu Saud pada tahun 1945.
Sebab itu, berbagai opini soal keputusan Trump yang dianggap dapat mencelakai dirinya; juga turut memberikan dampak negative terhadap keharmonisan umat beragama, masih bersifat Dionysian spirit, atau menurut Nietzsche dalam The Birth of Tragedy (1872), merupakan sebuah dorongan irrasional dalam diri manusia yang erat kaitannya dengan kehendak dan kekuasaan. Pendeknya, Trump hanya sedang menggiring public dalam kenangan revolusi Iran, berikut peristiwa 9/11 yang mencekam, merawat kebencian lalu secara halus meraup masa.
Politik Kata
Hampir sebagian besar media di dunia hari ini memberitakan hal yang sama terhadap Islam, yakni : sebagai sebuah entitas pemasok minyak, teroris, dan kelompok-kelompok yang haus darah. Sebaliknya, hanya ada sedikit ruang, baik dalam kebudayaan, sosial dan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya yang membicarakan Islam, atau apapun yang Islami secara simpatik.
Hal-hal tersebut, sebenarnya merupakan bias liputan Barat terhadap dunia Islam, yang disampaikan oleh media masa dengan cara-cara propagandis : menghasut, kemudian menabur benih kebencian. Dan yang paling parah, hal-hal tersebut mudah saja diterima juga di konsumsi oleh umum secara membabi buta.
Label-label yang berimplikasi untuk menyebutkan realitas yang besar dan kompleks sangatlah samar sekaligus tidak terelakkan. Jika Islam adalah sebuah role model yang tidak akurat dan sarat “ideologis”, maka “Barat” juga sama problematis tentunya.
Kita bisa melihat apa yang terjadi pada tanggal 20 Januari 1981, di mana seluruh media masa di dunia menyoroti kepulangan 52 orang Amerika yang di sandra, di Teheran, Iran. Ada yang menyorotinya secara simpatik (West Point, pada tanggal 28 Januari 1981) dengan tajuk yang berjudul “Tawanan tidak pernah di siksa”, menuai dendam (The NewYork Time’s, pada tanggal 22 Januari 1980) dengan judul “Biarkan kemarahan itu tetap ada”, bahkan dengan cara sangat radikal; oleh Bill Green dalam salah satu acara Tv sebagai “Kecabulan Iran”,. Alhasil, beragam pemberitaan yang tidak objektif, oleh Edward Said, disebut-sebut telah memberikan pandangan kepada dunia bahwa umat Islam merupakan ‘kaum sinting fundamentalis’.
Kebangkitan dunia Islam merupakan satu hal yang di nilai oleh Barat sebagai satu-satunya agenda yang syarat akan kepentingan perang dan kekuasaan. Padahal, konflik yang terjadi di sebagian negara Islam, merupakan agenda-agenda (False Flag Operation) yang juga di ciptakan, di motori, dan di danai oleh Barat. Pendeknya, kita, masyarakat dunia sedang berada dalam pusaran “Politik Kata” yang bertujuan untuk “mengkambing-hitamkan” suatu kasus dengan tujuan agar opini masyarakat mempercayai apa yang telah mereka (pemerintah) lakukan dan apa yang telah mereka katakan.
Sedikit sekali yang menyadari bahwa : pers telah melakukan penyajian berita secara membabi buta kepada publik. Islam menjadi trending topic yang tidak pernah bosan untuk di sorot. Ada apa dengan Islam, lantas masyarakat Global melupakan beberapa peristiwa, seperti : 919 umat Kristiani yang bunuh diri masal di Jones Town Massacre; dan kisruh yang terjadi pada saat konser Who di Cincinnati ?
Banyak tokoh, seperti Bob Ingle & Claire Sterling (dalam Atlanta Corst, pada tanggal 23 Januari 1981) terlalu cepat membuat kesimpulan bahwa : “kita, masyarakat Global yang berdampingan bersama Islam, sedang dalam dekade ketakutan”. Padahal, Steven Erlanger dalam News Republic (tanggal 31 Januari 1981) jelas-jelas dengan tegas menyebutkan bahwa :Islam telah dianggap sebagai anomaly untuk membangun kembali kekuatan Barat.
Ketidaksadaran memilah dan memilih inilah, yang kemudian menggiring kita untuk saling mendesakralisasi satu sama lain. Akan lebih baik jika kita, masyarakat Global, dan siapapun yang merasa telah diracuni, menyadari bahwa : “Apakah Islam akan selalu menempati peran sebagai pemasok minyak yang bersifat teroris ?[].
