Oleh: Ayang Utriza Yakin, Ph.D
Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Perbedaan di antara umat manusia adalah hal yang wajar, lumrah, dan alamiah. Allah SWT berfirman:
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus [10]: 99).
Senada dengan ayat itu, di surah lain, Allah juga berfirman: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (Q. S. Hud [11]: 118).
Sungguh Allah dapat menjadikan umat manusia satu agama dan bangsa, tapi hal itu Dia lakukan. Tabiat manusia selalu berbeda. Perbedaan harus kita rayakan dan jaga, bukan malah dihancurkan.
Kita harus bersyukur, Allah menakdirkan kita menjadi orang Indonesia. Negeri yang kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah, dan kaya dengan ragam bahasa, budaya, etnis, suku, dan agama maupun kepercayaan lokal.
Keragaman ini menjadikan masyarakat Indonesia sangat lentur dalam beragama dibandingkan dengan negara-negara Arab. Tapi sayangnya kini di tengah masyarakat kita banyak sekali yang berdakwah dan menyalahkan atau mengkafirkan orang lain.
Hanya karena beda paham, mereka mengkafirkan hingga menghalalkan darah orang lain seperti yang terjadi di Timur Tengah. Hal ini tentu sangat menyedihkan dan berbahaya bagi kehidupan masyarakat dan berbangsa kita.
Beberapa tahun belakangan ini banyak gerakan yang merasa dirinya paling benar dan menyalahkan orang lain. Sangat mudah menuduh orang lain berbuat bid’ah, sesat, dan tak segan mengkafirkan orang lain hanya lantaran beda pendapat. Merasa paling benar tentu bukan akhlak terpuji. Allah berfirman:
“…Jangan engkau mengganggap dirimu paling baik/suci, sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapa orang yang paling bertakwa” (Q.S. Al-Najm [53]: 32).
Dalam soal bersuci atau sebab yang membatalkan wudhu saja, misalnya, banyak perbedaan di antara imam mazhab. Kita dapat menemukan keberagaman hukum terkait hal itu. Bagi Imam Syafi’i, bersentuhan dengan bukan mahram itu membatalkan wudhu, tapi tidak bagi Imam Hanafi.
Perbedaan ini berasal dari perbedaan penafsiran tentang makna kata “lâmasa” (Q.S. Al-Nisa [4]: 43) yang artinya memegang/bersentuhan. Ayat ini membicarakan tentang hal yang menyebabkan seseorang menjadi kotor dan harus berwudhu lagi, tapi tidak ada air.
Imam Syafii memaknai kata “lâmasa” dengan “massa” yang artinya bersentuhan. Siapa pun yang menyentuh atau bersentuhan dengan orang yang bukan mahram itu menjadi sebab batalnya wudhu.
Imam Hanafi memaknai kata “lâmasa” dengan “jâma’a,” yaitu berhubungan suami-istri. Apalagi saat melakukan ibadah tawaf, tak terhindarkan kita tersentuh atau menyentuh orang yang bukan mahram. Jadi, menurut Imam Hanafi, yang membatalkan wudhu itu berhubungan badan.
Perbedaan itu indah dan membawa rahmat serta kemudahan bagi kita. Imam al-Sya’rânî menulis kitab Ikhtilafu Ummati Rahmatun (perbedaan di kalangan umatku itu rahmat), yang juga bunyi dari sebuah hadis Rasulullah.
Kendati demikian, ada saja kelompok yang merasa kelompoknya paling benar sambil menyalahkan orang lain. Allah berfirman: “…. Setiap kelompok merasa senang/bangga/benar dengan kelompoknya sendiri”(Q.S. Al-Mukminun [23]: 53).
Inilah yang harus kita redam. Salah satu caranya adalah dengan tidak memotong dan mengambil ayat atau hadis hanya untuk kepentingan kelompok lalu menyalahkan orang lain. Mengambil hadis tanpa memahami konteks akan berbahaya. Mengambil hadis dan memahaminya secara harfiah juga tidak tepat. Nabi Muhammad bersabda:
“Akan datang di akhir zaman kelompok yang berusia muda, yang bodoh-pemimpi (lemah pemikiran), menyampaikan satu perkataan makhluk terbaik (Rasulullah). Tapi mereka melesat dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tidak melewati tenggorokan…” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sekarang kita lihat banyak sekali kelompok-kelompok yang terdiri dari anak-anak muda yang pada dasarnya tidak paham agama atau baru paham sedikit tentang agama, namun sangat mudah untuk menyalahkan orang lain dan merasa dirinya paling benar.
Ada ilustrasi yang bagus tentang hal ini. Yaitu, cerita tentang orang buta yang memegang bagian tubuh gajah. Ada yang mengatakan “gajah itu panjang”, karena ia memegang belalainya. Ada yang menyebutkan “gajah itu gendut” karena ia memegang perutnya. Ada juga yang mengatakan “gajah itu keras sekali seperti besi” karena ia memegang gadingnya. Dan ada pula yang menyebutkan “gajah itu lebar” karena ia memegang kupingnya.
Kadang kita punya cara pandang “kacamata kuda.” Yang penting diri kita. Tidak penting orang lain. Yang benar diri kita. Orang lain salah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, beliau bersabda:
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (H.R. Bukhari, No. 592, hadis mauquf).
Umat Islam yang memandang orang lain salah ini sangat berbahaya apalagi sampai mengkafirkan. Dalam peta geopolitik international di Timur Tengah, ada kelompok yang mengerikan: ISIS. Perilaku dan mentalitas ISIS dapat dengan mudah kita temukan di Indonesia.
Di Indonesia ada kelompok-kelompok yang gemar membid’ahkan dan menyalahkan kelompok lain dan selalu mengancam orang lain masuk neraka. Sebagian orang menyebutnya kelompok Salafi-Wahabi. Kelompok ini merasa paling benar sendiri, paling berhak masuk surga. Sementara umat Islam lain hanya pelaku bid’ah dan imbalannya neraka.
Dari Abu Sa’id RA, Rasulullah pernah ditanya tentang al-Haruriyyah. Beliau menjawab, “Aku tidak tahu apa itu al-Haruriyyah? Aku mendengar Nabi bersabda: “Akan keluar dari umat ini suatu kaum yang menganggap remeh shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Quran namun tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang keluar dari busurnya” [H.R. Bukhari].
Hadis senada diriwayatkan Imam Abu Dawud: “Akan keluar dari umatku, golongan yang membaca Al-Quran dan bacaan Al-Quran kalian tidaklah ada apa-apanya dibandingkan mereka. Salat kalian bukanlah apa-apa dibanding mereka. Puasa kalian tak seberapa dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran dan menganggap Al-Quran membenarkan/mendukung mereka, tapi sesungguhnya Al-Quran itu melaknat mereka. Salat mereka tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana panah keluar dari busurnya” (H.R. Abu Dawud)”.
Kelompok yang banyak orang mengidentifikasinya sebagai fundamentalis dan radikal dari Salafi-Wahabi ini menganggap ibadah mereka jauh lebih baik dibanding umat Islam Indonesia pada umumnya. Mereka menganggap telah mengikuti hadis dan sunah yang paling benar sembari menuduh umat Islam Indonesia pada umumnya hanya taklid buta kepada para ustadz, ulama, kiyai dan mereka mempraktikkan hadis dan sunah yang dhaif.
Mereka selalu menyalahkan semua praktik ibadah orang lain, baik mahdah maupun muamalah. Mereka membid’ahkan semua budaya Indonesia yang telah menjadi bagian dari ibadah muamalah, seperti tahlil, barzanji, ziarah kubur, perayaan maulid, yasinan, dan adat-istiadat lainnya. Tak jarang, sikap kaku dan merasa paling benar dari golongan ini menimbulkan pertikaian dan permusuhan di kalangan umat.
Perkataan mereka sangat kasar, tak ada tatakarma, tidak ada kesantuan kepada para nabi, rasul, dan para ulama. Mereka hanya menghargai ulama dari kelompok mereka saja: Ibn Baz, Usaimin, Albani, dan seterusnyya. Lisan mereka sangat tajam, bahkan kepada ayahanda dan ibunda Nabi Muhammad. Benarlah sabda Nabi Saw yang berbunyi:
“Akan keluar dari umatku orang yang kasar, tidak ada tenggang rasa, pedas perkataan mereka, bacaan Al-Quran mereka tak melewati kerongkongan mereka…”
Di Indonesia, golongan yang paling merasa benar sendiri banyak sekali, bukan saja kelompok Salafi-Wahabi. Bagi mereka, semuanya salah kecuali pendapat dari ulama-ulama atau kalangan mereka sendiri. Hati-hati, mentalitas merasa paling benar adalah awal kecambah dari mentalitas ISIS.
Saya harus mengemukakan bahwa Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyyah, NU, dan ormas keislaman lainnya di Indonesia telah menfatwakan bahwa kelompok-kelompok radikal itu sebagai kelompok yang terlarang dan terlibat di dalamnya adalah perbuatan yang haram. Perilaku keislaman Salafi-Wahabi tidak cocok bagi Islam Indonesia.
Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat. Islam model ini diwakili NU, Muhammadiyyah, dan organisasi keislaman lainnya yang lahir dari rahim Indonesia.
Karena itu, kita perlu menyambut baik adanya gagasan Islam Nusantara atau Islam ala Indonesia. Yaitu, menerapkan ajaran Al-Quran, Hadis dan Sunnah serta para ulama terdahulu sembari memerhatikan dan menghargai budaya, adat-istiadat, dan kearifan setempat.
Inilah masa depan Islam. Tanpa ini, kita akan terjerembab dalam kubangan peperangan yang tak berkesudahan seperti di Timur Tengah.
Marilah kita beragama dengan penuh keyakinan dan pengabdian kepada Allah sesuai dengan Al-Quran dan hadis, dan pada saat yang sama menghargai budaya Indonesia. Menghargai budaya Indonesia tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis.
Mari kita jauhkan diri dari sikap merasa paling benar sendiri. Mari kita jauhkan diri dari sikap dan sifat yang selalu melihat orang lain salah. Jauhilah sikap dan sifat yang mudah menuduh orang bid’ah, syirik, dan kafir, dan menggolongkan mereka sebagai ahli neraka.
Mari beragama yang cerdas dan moderat dengan masuk ke dalam kancah zaman dan terlibat dalam persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih tenaga kita habis untuk membid’ahkan orang, mari alihkan perhatian kita pada pengerukan kekayaan alam Indonesia oleh segelintir orang dan perusahan-perusahaan yang menghancurkan alam Indonesia.
Mari alihkan perhatian kita kepada bid’ah-bid’ah yang nyata-nyata lebih sesat seperti korupsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan antarpelajar, penggundulan hutan, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Inilah bid’ah sesungguhnya yang benar-benar nyata. Pelaku bid’ah sesungguhnya ada di Senayan dan kantor-kantor pemerintahan atau pembuat kebijakan yang tidak melindungi dan tak menyejahterakan rakyat.
Bid’ah-bid’ah seperti ini yang harus kita perangi, bukan umat yang sudah memeluk Islam. Ini bertentangan dengan sifat Rasulullah. Beliau mengislamkan orang kafir yang belum Islam. Sekarang justru sebaliknya, ada kelompok yang mengkafirkan orang yang sudah Islam.[ Sumber :paramadina.or.id]