Wakil Bupati Kabupaten Gorontalo, Fadli Hasan diberhentikan dari jabatannya melalui sidang paripurna hak menyatakan pendapat DPRD Kabupaten Gorontalo, Jum’at (22/9). Pengusulan pemberhentian itu merupakan tindak lanjut dari Hak Angket DPRD Kabupaten Gorontalo atas dugaan permintaan fee proyek yang dilakukan Fadli Hasan.
Anak dari Zaiunudin Hasan ini diduga telah melanggar sumpah dan janji jabatan, dengan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai kepala daerah dan atau wakil kepala daerah sebagaimana ketentuan undang-undang. Bahkan wakil bupati ini diduga melanggar undang-undang nomor 23 tahun 2014—melakukan perbuatan tercela.
Pemberhentian Fadli Hasan dituangkan dalan surat keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo yang kemudian akan diserahkan ke Mahkamah Agung (MA) dalam waktu tiga hari. Jika MA menerima hasil keputusan dewan, maka DPRD akan mengusulkan pemberhentian Fadli Hasan sebagai wakil bupati ke Menteri Dalam Negeri RI.
Namun keputusan DPRD memberhentikan Fadli Hasan sebagai wakil bupati dinilai tidak sejalan dengan konstitusi. Berikut wawancara mediacerdasbangsa.com (MCB) bersama praktisi hukum Salahudin Pakaya (SP).
MCB : Assalamu’alaikum Pak Salahudin.
SP : Wa’alaikumussalamu warahmatullahi wabarakatuh.
MCB : Kita langsung saja pada pokok pembahasan. DPRD Kabupaten Gorontalo telah memberhentikan Pak Fadli Hasan dari jabatan wakil bupati melalui sidang paripurna hak menyatakan pendapat. Apa pendapat anda?
SP : Ini tidak sejalan dengan konstitusi.
MCB : Maksud anda?
SP : Begini, DPRD telah melampaui wewenangnya. DPRD tidak melihat secara detail apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela dan melanggar sumpah janji.
MCB : Alasannya?
SP : Alasannya, tidak semudah apa yang dalam pikiran teman-teman DPRD.
MCB : Coba anda jelaskan!
SP : Mari kita tarik benang peristiwa yg terjadi, sehingga bisa melahirkan sebuah petunjuk telah terjadi yang disebut, apakah wabup telah melanggar sumpah janji? Apakah wabup telah melakukan perbuatan tercela?
MCB : Menurut anda DPRD salah?
SP : Undang-undang tidak bisa menjustice perbuatan seseorang dengan sebuah praduga. undang-undang sudah mengatur bahwa bila terjadi percobaan penyuapan ataupun pemerasan, ada ruang lingkup hukum yang disediakan oleh undang-undang.
MCB : Tapi dewan menganggap Pak Fadli Hasan diduga melanggar sumpah dan janji jabatan. Komentar anda?
SP : Bilamana DPRD menganggap itu hal yang sederhana dengan mengambil kesimpulan telah terjadi melanggar sumpah janji, maka secara hukum terlalu prematur.
MCB : Mungkin saja DPRD mengambil referensi daerah lain, misalnya, Bupati Garut.
SP : Beda konteksnya dengan Bupati Garut, karena perbuatan telah terjadi, telah ada pernikahan. Adanya korelasi antara sebuah pengakuan dan perbuatan. Saya tidak pro DPRD maupun wabup. Saya hanya berjalan sesuai dengan pengetahuan hukum saya.
MCB : DPRD menjalankan wewenangnya sesuai ketentuan undang-undang. Menurut anda?
SP : Iya benar. Wewenang DPRD besar, tapi bukan berarti DPRD dapat dengan mudah melakukan hal yang harus bertentangan dengan aturan. Muncul pertanyaan, bila saja usul atau permohonan DPRD ditolak oleh MA, apa yg akan dilakukan DPRD? Apakah undang-undang memberi ruang buat DPRD? Undang-undang memberi ruang kepada wabup untuk melakukan langkah hukum sebagai subyek hukum yang hak-haknya telah dilanggar.
MCB : Menurut anda, apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela?
SP : Nah…, UUD 1945 tidak ada lampiran penjelasan sebagai tafsir otentik, maka tafsir atas norma tersebut merujuk pada dua hal: Pertama, tafsir Mahkamah Konstitusi dan kedua, tafsir historis dengan membaca kembali risalah perdebatan munculnya Pasal 7A. Dua dokumen tertulis inilah yang menjadi rujukan. Jika tidak, semua orang bisa melakukan tafsir konstitusi sesuka hati.
MCB : Apakah ada yang menguatkan argumen anda yang lainnya?
SP : Menurut Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disebut perbuatan tercela adalah perbuatan yang sedemikian rupa merendahkan martabat dan kedudukan seorang presiden. Hamdan Zoelva, mantan Hakim Konstitusi yang menulis disertasi doktornya khusus tentang pemakzulan menyatakan, bahwa perbuatan tercela erat kaitannya dengan pelanggaran nilai-nilai agama, moral, maupun adat.
Frasa “perbuatan tercela” sesungguhnya menyadur dari konstitusi Amerika Serikat yang dipadankan dengan istilah misdemeanors, dimana lebih ditekankan pada pelanggaran moral kesusilaan.
Namun, batasan perbuatan tercela begitu luas bila merujuk pada norma-norma sosial, maka diperlukan adanya parameter dan pembuktian hukum yang jelas. Karena masyarakat Indonesia yang plural, batasan moral pun berbeda-beda. Oleh karena itu, MK kemudian menggunakan pendekatan hukum pidana yang lebih terukur. Kenapa menggunakan parameter hukum pidana? Sebab pelanggaran-pelanggaran lain dalam Pasal 7A seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana lainnya menggunakan parameter hukum pidana. Presenden mengalihkan perbuatan tercela dalam ranah hukum perdata ke hukum pidana terjadi pada perkara Cohen melawan Lindenbaum yang diputuskan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda). Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan tercela adalah perbuatan melawan hukum yang selain melanggar hak subyektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, juga bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat.
MCB : Tidak mungkin DPRD melakukan pemakzulan kepada wakil bupati tidak memiliki dasar hukum. Komentar anda?
SP : Alasan-alasan pemakzulan membutuhkan pembuktian yang sah menurut hukum. Seperti halnya peradilan umum, dalam memutus perkara MK pun membutuhkan pembuktian. Pembuktian atas perbuatan tercela hanya dapat menggunakan istrumen hukum pidana. Ringkasnya, perbuatan tercela masuk dalam katagori hukum pidana sebagaimana perbuatan lain yang ada dalam Pasal 7A UUD 1945
MCB : Apakah putusan DPRD itu salah?
SP : Banyak hal yang harus dilakukan oleh teman-teman DPRD dengan melihat referensi putusan MK dan putusan MA sebelum menjatuhkan putusan yang bisa saja keliru.
MCB : Owh.., terimakasih pak. Masih ada tambahan?
SP : Penjelasan di atas perbuatan tercela hanya bisa diakomodir dalam perbuatan susila, sementara hal-hal lain harus dibuktikan secara hukum dulu, mungkin baru sampai disitu kemapuan berpikir saya secara hukum positif.
MCB : Saya kira cukup perbincangan kita saat ini. Insya Allah akan bertemu kembali pada ruang dan topik pembahasan yang lain. Terimakasih Pak Salahudin atas waktu dan kesempatannya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
SP : Sama-sama. Wa’alaikumussalamu warahmatullahi wabarakatuh.***
